15) Bitter

4.2K 491 42
                                    

Kau lebih dulu menghilang di jam terakhir sekolah hari itu. Entah pergi kemana, yang pasti pesan teks yang kau kirim menyuruhku untuk menunggu beberapa saat. Tak lama, sayup-sayup terdengar bisikan dari para gadis di bagian belakang kelas, cekikikan mereka cukup menggelegar di dalam kelas yang sepi. Namun, mereka tampak tak peduli sama sekali dengan keberadaanku di sana.

"Yeri menyatakan perasaannya hari ini, kurasa dia akan diterima oleh Kim Mingyu," ujar gadis yang pertama.

Seketika tanganku mengerat pada jaket yang kubawa untuk melindungi tubuhku dari udara musim dingin. Berusaha abai, meski telinga ini tentu tak bisa berhenti mendengarkan suara yang ada.

"Kisah mereka sudah seperti manga saja. Aku yakin setelah ini akan ada berita besar karena dua orang terpopuler di sekolah berkencan."

Cekikikan lagi.

Tak lama, langkah seseorang menginterupsi perbincangan mereka, menghentikan obrolan dua gadis yang seketika memusatkan pandangam kepada seseorang yang baru saja datang.

Dirimu, datang dengan muka super kusut.

"Ayo pulang," ajakmu sembari mengambil tas. Tanpa protes, aku mengikuti dirimu yang berjalan lebih dulu. Atensiku melirik sebentar para gadis yang tampak heran, tak lama karena dirimu tiba-tiba memberi tanda agar aku berjalan disebelahmu.

Lalu, kita pun berjalan pulang seperti biasa. Menunggu bus di halte dengan keheningan yang terus membungkus di udara dingin yang mengelilingi.

Malas bicara, aku pun memutuskan untuk tetap diam sampai sebuah tangan menelusup pada saku jaketku, tanpa bertanya pun aku tahu itu milikmu. Kemudian, netraku pun teralihkan, berubah memandangimu.

"Apa yang sedang kau pikirkan, Wonu-ya?"

Deg

"Tidak ada."

Ucapan singkatku terlihat tidak diindahkan olehmu. Kau dan sikap seenakmu itu, lantas membawaku pergi dari bangku halte. Menerobos salju yang tidak terlalu lebat hari itu untuk masuk kembali ke sekolah, menuju ruang ganti di tepi lapangan sepak bola -ekstakulikuler yang kau geluti selama 2 tahun.

Lalu, sesampainya disana, tanpa aba-aba kau meraup bibirku seperti orang gila.

Aku tentu terkesiap karena sikap anehmu itu. Aku tak bisa tinggal diam. Sebelah tanganku yang gemas bertindak, memukul dadamu tanda protes.

"Buat aku lupa, Wonu-ya." Wajahmu tampak memelas, dan aku pun menangkup pipimu, mengelusnya penuh perasaan. Berusaha berbicara lebih intim tentang masalah yang kau miliki. "Dia lancang menciumku, aku hampir saja menamparnya jika aku tidak ingat dia seorang perempuan."

Mendengar racauanmu sebenarnya menyakitkan. Namun, aku memilih mempertemukan bibirku denganmu. Menggigitnya sesekali sebelum kau merespon undanganku. Membalas dengan lumatan yang lebih dalam dari milikku, bahkan tanganmu ikut bergerak untuk menyentuhku lebih, yang mana membuatku melenguh malu.

"Selalu saja menggemaskan," ujarmu.

Kau terkikik ketika kau mendengarku mendesah untuk kesekian kalinya olehmu. Memberi satu buah kecupan lagi sebelum berbisik di sisi telingaku.

"Terima kasih, karena kau selalu ada untukku."

.

Wonwoo benci dirinya sendiri, disituasi seperti ini seharusnya dia tak boleh pasrah begitu saja pada lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Sekarang pun, dia sekuat tenaga menahan suara laknat yang sesungguhnya bisa meningkatkan birahi siapapun yang mendengarnya.

Bibir itu Wonwoo gigit kuat-kuat, mengabaikan tetesan darah yang keluar karena usahanya untuk tidak melenguh kembali, yang mana malah mengundang tawa bagi lelaki Kim di belakang punggungnya.

Penyatuan mereka telah membawa Wonwoo untuk semakin melemah. Raganya berteriak, mengerang manakala pergerakan itu berhenti begitu saja.

Ya, Mingyu tengah bermain-main dengan tubuhnya.

Berengsek.

Jari panjang itu kembali bergerak, kali ini menjajah bagian penting milik Wonwoo dan memilin dadanya. "Jangan tahan sayang, tunjukkan suara indahmu."

"Akkhh..." Sekarang tidak hanya jari, lidah dan gigi itu ikut bekerja sama dalam misi menaklukan Wonwoo. Menggigit dan menghisap perpotongan leher pria bermarga Jeon itu seperti makhluk haus darah.

Kepala Wonwoo terasa pusing, pikirannya yang telah tertutup kabut nafsu itu memerintahkan pinggulnya untuk bergerak dan mengetat, yang seketika membuat Mingyu ikut melenguh.

"Aishh... W-wonwoo..."

Mereka kemudian kembali bergerak seirama. Rasanya benar-benar luar biasa terlebih ketika mereka mencapai puncak secara bersamaan. Wonwoo bisa merasakan cairan cinta Mingyu memenuhi bagian selatan tubuhnya, lalu merembes turun menetes pada paha dalam kakinya. Sedangkan miliknya berhasil membasahi tangan besar Mingyu yang sedari tadi masih menangkup benda kebanggaan Wonwoo.

Kecupan pun tercipta, mendarat pada bahu yang lebih tua sebagai hadiah. "Tadi itu luar biasa," bisik Mingyu menggunakan suara seraknya yang masih dipenuhi gairah dan berhasil membuat Wonwoo semakin memerah.

Tangan berisi sisa cairan itu lantas melingkari leher Wonwoo. Dan sebelum jilatan di jari-jari itu terjadi, Wonwoo lebih dulu menjauhkan tangan Mingyu dari mulut sang empunya. "Jangan lakukan, itu menjijikan. Kau tidak pernah berubah."

Kekehan terdengar, "Aku rindu rasamu."

Namun, Mingyu pun menurut. Sembari membersihkan tangannya di bawah shower, dia pun berusaha melepas penyatuannya. Pergerakan tersebut malah menimbulkan dinding-dinding hangat itu mengetat kembali, meremas nikmat milik Mingyu yang sebelumnya berencana keluar dari lubang senggama itu.

"Sayang, bukankah ini terlalu cepat? Sebegitu tak inginnya dirimu berpisah denganku, hm?"

Ditengah desahannya, Wonwoo berusaha berbicara. "T-tidak... i-ini bukan keinginanku... Gyu...Aaahh"

"Itu tandanya kau sangat merindukanku, Wonu-ya," ujar sang dominan disertai  lumatan kecil di cuping telinga Wonwoo.

Dan mereka pun kembali larut dalam lautan kenikmatan.

Aku memang sangat merindukanmu.
Namun, aku harus membencimu.

.

.

.

"I-itu yang terakhir kali."

"Aku tidak akan percaya, kau bahkan baru saja dikhianati oleh tubuhmu sendiri, Jeon."

"Berisik."

.

.

.

Tbc

Thank U, Next | MEANIE✔Where stories live. Discover now