[versi novel] - 2

6.5K 264 8
                                    

Suasana pagi di rumah besar tiga lantai itu tidak berubah. Suara tawa empat cowok SMA mengisi pagi di sana. Anak dari empunya rumah, Nathanael Gabriel Alexander—akrab disapa Nath—memakai sepatu dengan santai. Ia terkekeh pelan saat melihat Dodit, salah satu temannya, tersedak susu hingga susu itu keluar dari hidungnya. Dua cowok lainnya, Kenny dan Rama, tertawa dengan suara menggelegar yang mungkin saja bisa terdengar sampai ujung komplek.

Nath dan ketiga sahabatnya memang selalu berkumpul dulu sebelum berangkat sekolah. Rumah Nath paling dekat dengan sekolah mereka, SMA Dirgantara. Ditambah selalu tersedia sarapan yang enak-enak, jadilah mereka tidak perlu ribut lagi memikirkan harus kumpul di mana. Di sana, mereka juga bisa bersantai dulu sambil menyalin PR—itu pun kalau ada niat.

Pukul 7 kurang 10, Nath dan teman-temannya memanaskan motor. Deru keempat motor itu mengisi keheningan komplek perumahan. Saat itulah, Papa muncul dari dalam rumah.

"Nath, kamu ke sekolah bareng Karen, ya? Papa udah ditungguin, nih," ucap Papa sambil berjalan tergesa-gesa menuju mobil. "Hari ini ada tamu penting."

Nath langsung menunjukkan ekspresi tidak suka. Belum sempat Nath menolak, Papa sudah mengangkat telunjuk di depan wajah Nath. Pria yang baru menginjak umur 46 tahun itu menatap anak laki-lakinya dengan tajam. "Pokoknya nggak ada tapi. Papa maunya kamu yang anter Karen."

"Saya aja yang nganter gimana, Om?" Dodit maju menawarkan diri. Kenny dan Rama bersiul-siul pelan di latar belakang. Memang fakta kalau Dodit naksir Karen, dan itu juga sudah diketahui Nath juga Papa.

Papa memberikan senyum lebar ke arah Dodit. "Nggak  apa-apa, Dodit. Biar Nath aja. Memang sudah tugas Nath sebagai kakaknya Karen," kata Papa sambil memberikan kode mata ke arah Nath. Kode yang kurang lebih berisi ancaman supaya Nath tidak menolak. Kemudian, Papa masuk mobil dan pergi secepat kilat.

Nath tidak punya pilihan lain. Dia berdecak.

"Gue beneran rela nganterin Karen sayangku, kok," kata Dodit. Cowok itu mengedip-ngedipkan mata sok genit, yang langsung dibalas tinju ringan dari Nath.

"Udah sana duluan," tukas Nath dengan nada datar. Hari ini ada upacara rutin di sekolah. Bisa repot kalau mereka semua terlambat.

Ketiga temannya itu pun menurut dan berangkat duluan.


***


"Tahu diri jadi orang," ketus Nath saat melihat Karen yang baru keluar dari rumah pukul 7 lewat 5 menit. Bel sekolah akan berbunyi saat jarum panjang menyentuh angka 10, yang artinya Nath harus mengendarai motor dalam waktu lima menit saja. Untung dia pakai motor racing.

"Sori, tadi gue mimisan. Kalo g—"

Belum sempat Karen menyelesaikan kalimatnya, Nath memotong, "Nggak peduli."

Ucapan ketus Nath membuat Karen terpaku. Sebenarnya, sikap Nath memang selalu dingin seperti ini terhadapnya— entah sejak kapan Karen tidak ingat. Kalau sudah begini, yang bisa Karen lakukan hanya berusaha tidak membuat Nath lebih marah lagi dari ini.

Tanpa membuang waktu lagi, Karen mengenakan helm dan naik ke atas motor. Dudukan motor itu tinggi, jadi Karen menumpukan kedua tangannya di pundak Nath sebagai pegangan. Nath dengan cepat mengentakkan tangan Karen.

Karen kembali terpaku.

Nath berdecak, lalu langsung meluncurkan motornya dengan kecepatan tinggi. Motor itu menyentak ke depan. Karen yang hampir terjatuh, refleks menarik kemeja seragam Nath.

"Lepas," Nath berkata dengan ketus dari balik helm hijau neonnya.

Karen melepas pegangannya dengan ragu. Ia tidak tahu lagi harus berpegangan di mana, karena jok belakang motor itu tidak memiliki pegangan seperti motor lain. Laju motor semakin kencang. Air mata Karen mulai menggenang.

Complicated [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now