Pundak Kita Berlima ( Part 1)

15 1 0
                                    


Pendakian kali ini jauh berbeda dari pendakian sebelumnya di gunung Penanggungan. Dimana ketika di Penanggungan adalah pengalaman pertama dalam mendaki, jadi masih kurangnya persiapan dan pengalaman. Sebelumnya saya dan tim pendakian kala itu lebih banyak berjalan.

Beristirahat hanya lima menit tanpa berhenti di pos-pos yang telah di sediakan, padahal medan pendakiannya cukup terjal dimana banyak sekali lumpur, bebatuan dan jalur yang memang menanjak terus tidak memberi ampun pada kaki kami. Terlebih lagi jalur yang licin karena pada sore harinya sebelum kami mendaki cuaca mendung dan langit sempat hujan. Bersyukur, ketika kami memulai pendakian di malam hari cuaca sangat baik bahkan bulan terlihat terang.

Kami menempuh pendakian dari tempat parkir motor sampai di pos bayangan hanya membutuhkan waktu kurang lebih dua jam. Makanan yang kami makan adalah mie instan dan beberapa camilan. Memang ketika di gunung makanan yang banyak dibawa oleh pendaki adalah mie instan karena selain praktis, selain itu siapa sih yang tidak suka dengan nikmatnya mie instan. selain makanan, kami membawa dua botol air mineral ukuran 1,5 Liter untuk persediaan kami ketika mendaki sampai turun lagi.

Fungsinya air ketika mendaki untuk berbagai kebutuhan seperti memasak, minum, gosok gigi dan cuci muka ketika kita di atas gunung. Dan tidak lupa ketika kita mendaki juga membutuhkan air. Saran saya siapkan 1,5 Liter air untuk minum ketika mendaki untuk tiga sampai empat orang. karena tidak baik juga apabila kita mendaki terlalu banyak meminum air, selain itu dapat menghemat air untuk kebutuhan yang lain. Alangkah baiknya apabila kita minum secukupnya ketika kita merasa dehidrasi.

Ketika kita mendaki dalam waktu dua hari satu malam lebih baik menggunakan tas yang tidak terlalu besar tetapi cukup. Karena dari pengalaman di Penanggungan, saya membawa tas keril yang berkapasitas 60L. terlalu besar untuk digunakan ketika mendaki dalam waktu dua hari satu malam, karena pada akhirnya secara tidak sadar kita jadi membawa barang bawaan yang tidak penting masuk ke dalam tas karena kita merasa masih cukup barang yang di masukkan ke dalam tas. Padahal, cara membawa barang yang baik dan benar adalah bawa barang yang cukup sesuai kebutuhan bukan yang banyak. Barang yang minimal tetapi fungsinya maksimal. 

Dan kali ini saya mendaki di gunung Pundak, masih di daerah yang sama yaitu berlokasi di kabupaten mojokerto. Dengan formasi yang berbeda. Apabila di penanggungan kemarin bersama dengan senior saya di kampus dan juga kawan duta lalu lintas. Kali ini pendakian bersama Brian, Fanani, Dedek, Asfi. mereka merupakan sahabat-sahabat saya sejak masih duduk di bangku SMP. Perjalanan kami di mulai pada tanggal 7 Juli 2018 pukul 13.00 WIB kami berangkat dari Bojonegoro menuju Surabaya terlebih dahulu menjemput seorang kawan bernama Isti serta satu adiknya, Isti merupakan kawan saya dari Putra-Putri Dirgantara Lanud Surabaya. Dari jauh-jauh hari dia yang paling ngebet ikut kalo ada pendakian. dan Isti lebih berpengalaman dalam hal mendaki gunung, pasti ilmunya sangat bermanfaat untuk kami berlima yang bisa di bilang baru dalam hal mendaki.

Kami tiba di Surabaya pukul 17.00 karena ketika sampai di tol menuju Surabaya jalanan tol macet selama beberapa jam. Saking padatnya kendaraan bahkan jalan tol saja bisa macet. setelah kami menjemput Isti dari Bungurasih, mobil langsung berangkat menuju Mojokerto. Alhamdulillah perjalanan menuju lokasi lancar. Kami sampai di Pacet, Mojokerto sekitar pukul 19.00  WIB. Kami sejenak beristirahat, makan malam dan sholat terlebih dahulu sebelum memulai pendakian. Setelah selesai ISHOMA kami memulai perjalanan. Di Pundak ada dua jalur pendakian, via Puthuk Siwur dan via Tahura (Taman Hutan Raya). Kalau saya melihat di beberapa video youtube, melewati jalur Puthuk Siwur memang lebih menarik karena melewati hutan Pinus dan pemandangan yang disajikan lebih indah. Tetapi jalur via Tahura adalah jalur resmi yang di kelola perhutani sedangkan jalur Puthuk Siwur adalah jalur yang di kelola oleh masyarakat sekitar.

Malam itu kami memilih untuk melewati jalur Tahura. Ketika di parkiran kami bertemu dengan teman Isti yang juga pecinta alam. Namanya mas Miji. Walaupun ia juga sering mendaki berbagai gunung tapi ia menjelaskan bahwa mendaki Pundak merupakan pengalaman pertamanya. Setelah kami mengurus simaksi (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) dan berdoa terlebih dahulu. Memohon keselamatan untuk pendakian kami malam itu sampai besok dan sampai kami turun kembali pulang selamat sampai dirumah, lalu kami memulai pendakian.

Malam itu udara sangat dingin. Melebihi hari biasanya. Menurut informasi, beberapa hari memang suhu di seluruh belahan bumi menurun disebabkan oleh posisi matahari yang berada di titik terjauh dari bumi. kami menikmati pendakian walaupun awal kami mendaki adalah kondisi paling kritis bagi fisik kami, karena awal dimulainya pendakian adalah ketika fisik kami beradabtasi dan tubuh baru mulai memanas.

Napas kami saling memburu, bersahut-sahutan dengan pepohonan yang juga kala itu menghirup oksigen. Jalanan yang menanjak dan barang yang berat juga menjadi kendala bagi kami para pendaki pemula. Untungnya kami tidak terburu-buru dalam mendaki. kami sering berhenti cukup lama untuk mengambil napas, meminum air dan sekedar beristirahat sejenak melepaskan beban tas dan sering kali bersenda gurau ataupun mengobrol untuk menghilangkan rasa lelah kami.

Setelah cukup lama kami mendaki akhirnya tubuh kami mulai terbiasa. Walaupun memang berat tapi rasa lelah ketika pertama awal kami memulai pendakian perlahan mulai menghilang. Awalnya memang saya paling kawatir dengan fanani dan dedek. Tapi sepanjang perjalanan dedek ternyata masih sanggup untuk mengikuti arus pendakian walaupun rasa lelah tidak dapat di tutupi. Sedangkan fanani lah yang sering terlihat lebih banyak merebahkan badan ketika kami istirahat sejenak, terkadang ia memejamkan matanya.

Memang ini baru pendakiannya yang pertama dan tas yang dibawanya terasa lebih berat dari punya saya sendiri karena sebelum kami berangkat saya sempat mencoba menggendong tasnya. Tetapi itulah pendakian. bukan fisik kuat yang utama, tetapi bagaimana kita melawan mental kita. Bukan berarti latihan fisik diabaikan. Fisik mendukung tubuh kita untuk berbuat sesuatu yang lebih, tetapi mental adalah sikap kita pantang menyerah untuk mencapai target seperti apapun halangannya.

Dan ada hal "ajaib" yang saya sadari  bahwa kita tidak mungkin bisa sekuat itu menghadapi beratnya rute, beratnya menopang beban tas dan napas yang sudah tersengal-sengal jika bukan karena kita menjalaninya bersama-sama.

Berjalan bersama sahabat selalu membuat energi positif itu datang. Kita jauh lebih kuat dari apa yang kita bayangkan. Mungkin itu alasannya kenapa ketika dulu saat sekolah jika ada salah satu murid yang sakit di kelas, kita lantas menjenguknya. Karena "keajaiban" sebuah persahabatan dengan teman itu yang dapat membuat kita jadi lebih cepat sembuh. Kita jadi melupakan rasa sakit kita karena kita senang bersama mereka.

Buku Ini Belum LunasWhere stories live. Discover now