LAKUNA

5 0 0
                                    


Pernah kah kita melihat kebanyakan orang yang melakukan rutinitas yang monoton dan terkadang terkesan membosankan. Berangkat pagi, berdandan, menggunakan kemeja serta dasi, rela bermacet-macetan di jalan, duduk berjam-jam di kantor, pulang sore, dan begitu terus setiap harinya selama bertahun-tahun. Pernahkah kita berpikir mengapa hal itu terjadi? Mengapa sebagian orang tahan dengan rutinitas hidup seperti itu? melakukan sesuatu seperti seolah-olah kita adalah robot yang seumur hidup hanya disuruh bekerja tanpa tahu, kita dilahirkan ke dunia ini untuk apa? padahal manusialah yang membuat robot. Namun, begitu jenakanya kita juga melakukan tugas itu. setidaknya itu yang ada di pikiranku saat ini.

Menurutku setiap hal yang terjadi di dunia selalu ada maksud dan tujuannya. Kita menilai sesuatu dengan pemahaman dan pengalaman kita masing-masing. Boleh jadi sebagian dari kita merasa tidak nyaman dengan kehidupan seperti itu. namun, bisa jadi kehidupan seperti itu juga bukanlah pilihan hidup bagi mereka yang berdasi. Kebanyakan dari mereka terpaksa mengorbankan cita-cita mereka demi memenuhi tuntutan kehidupan. Bisa jadi ada yang orang tuanya tidak dapat membiayai hidupnya, dan akhirnya terpaksa mencari penghasilan sendiri untuk menghidupi keluarganya. Ada pula yang rela melakukannya demi memenuhi tuntutan budaya mapan sebelum menikah, agar cepat di restui calon mertua. Ada pula yang ingin membahagiakan saudaranya dengan membelikan hal-hal yang di inginkan mereka. dan ada pula yang telah merasakan kegagalan di hidupnya berulang kali, sehingga ketika diterima kerja ia sangat menghargai pekerjaannya karena merasa pekerjaan di dapat dengan susah payah.

Menurutku itu semua adalah alasan yang mafhum dan logis hidup di kota dan mengapa sebagian dari kita tahan menjalani hidup seperti itu. apakah sebegitu mengerikannya menjadi dewasa. buatku sendiri, jika ada sebuah potongan kehidupan yang membosankan itu adalah waktunya menjadi dewasa. mau tidak mau kita di tuntut untuk berpikiran semacam itu. berpikiran bahwa setiap kebahagiaan diukur dengan harta dan tahta sebuah jabatan. Kita jadi lupa apa arti hidup kita yang dahulu kita impikan sedari kecil.

Dulu sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah dasar. Pasti kita pernah di Tanya oleh guru tentang cita-cita dan mimpi kita. Dan tak sedikit kawan kita yang menjawab. Ingin menjadi polisi, dokter, tentara, insinyur, pemain sepakbola, presiden. sebuah mimpi yang tak kecil. Namun waktu sedikit demi sedikit mengikis mimpi itu. kita menjadi manusia yang paling membosankan di dunia, yang hanya berpikir tentang uang dan singgasana. Kita lupa keseruannya memiliki cita-cita semasa kita masih remaja.

Dan apa kah kau sadar kawan bahwa kita kehilangan tujuan kita. Dahulu cita-cita kita dan harapan guru kita menuntun kita untuk menjadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain. namun kini, kita menjelma menjadi seseorang yang egois. Tak perduli dengan kehidupan orang lain.

Aku yakin bahwa tak ada kehidupan yang benar-benar bebas di dunia ini. Setiap dari kita harus kelelahan dahulu untuk mencapai sesuatu. Kita mengalami ujian kita sendiri-sendiri di dunia. Tak ada sesuatu hal yang instan. Sejauh kita yakin egois kita dapat berdampak baik untuk orang lain, lakukan. Namun jika kau pikir egomu dapat berdampak buruk bagi orang lain, tinggalkan.

Kehidupan seperti apapun yang kita jalani. Entah bekerja untuk korporasi, instansi, seni atau apapun. Aku harap kita menjalaninya atas dasar hobi dan kecintaan kita pada pekerjaan itu. karena dari rasa mencintai pekerjaan itulah kita dapat bertahan. Karena menjadi dewasa tak perlu membosankan, jadilah bahagia dan mengagumkan. Dan semoga segala apa yang kau jalani dapat selalu bermanfaat bagi orang lain kawan. 

Buku Ini Belum LunasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang