Pundak Kita Berlima (Part 2)

6 0 0
                                    

Perjalanan kami hampir sampai, sekitar seratus meter sebelum kami sampai di puncak kami berhenti sejenak. Entah ini merupakan istirahat yang ke berapa kalinya sejak kami memulai pendakian. Kami mengambil minum lalu melihat pemandangan sekitar. Pohon dan bukit terlihat samar-samar. Dan yang menakjubkan adalah ketika kami menengadahkan kepala, melihat lautan bintang yang ada di angkasa. Di atas ketinggian bintang jadi terlihat lebih jelas dan lebih banyak. Entah saya ini 'kuper' atau bagaimana tapi malam itu pertama kalinya saya melihat bintang jatuh, Bukan hanya sekali tetapi berulang kali. Kami tak berucap sepatah katapun, hanya rasa syukur yang dipanjatkan dalam hati berulang kali.

Kami sampai di puncak gunung Pundak, 1547 mdpl. jarum jam menunjukkan jam satu dini hari. Angin terasa berhembus semakin kencang karena jarang pohon di puncak, udara semakin dingin. Bisa dibilang ini udara yang lebih ekstrim dan lebih dingin dari pada pendakian di gunung Penanggungan beberapa waktu lalu. dan saya heran ada beberapa pendaki yang tidak tidur di tenda, mereka hanya tidur diatas matras dan menggunakan sleeping bag di dekat semak-semak, ini tentu dapat membahayakan diri mereka sendiri dan tentunya tidak patut di contoh. kami segera mendirikan tenda. Mengeluarkan makanan masing-masing yang berada di dalam tas dan segera menyiapkan alat masak. perut yang lapar membuat kami sepakat untuk makan terlebih dahulu pagi itu sebelum tidur sejenak sampai matahari terbit. Kali ini makanan yang kita bawa cukup banyak dan bervariasi. Diantaranya, ada mie goreng, beras, sosis, sarden, kangkung, pudding, beberapa camilan, dll.

Ketika kami sedang memasak, salah satu dari kami merasa kedinginan hebat. Ternyata adik Isti. Ia terkena hipotermia. Menurut informasi, ini kali pertamanya ia mendaki. jadi, wajar saja apabila tubuhnya masih kaget dengan cuaca di atas gunung. Isti lalu membawanya masuk ke dalam tenda yang kami bawa khusus cewek. ia memakai selimut sembari beristirahat untuk memulihkan kondisinya. Tetapi, beberapa menit setelah ia beristirahat di dalam tenda, Isti kembali berdiri dari tempatnya semula di depan tenda yang sedari tadi memasak untuk kami. Ia lalu masuk ke dalam tenda. Membangunkan adiknya, tetapi ia tidak bangun ataupun menjawab. Isti mulai panik. Suaranya untuk membangunkan adiknya semakin keras, hingga suaranya terdengar oleh kami para cowok yang sedang memasak di depan tenda. Sontak kamipun kaget. Beberapa dari kami yang dapat menanganinya langsung bergegas masuk ke dalam tenda, sedangkan bagi kami yang tidak paham tetap diam dan waspada. Bukan karena kami tidak membantu, tetapi apabila orang-orang yang tidak paham cara menanganinya pasti membuat keadaan semakin memburuk. kami tetap berjaga dan waspada, barangkali mereka yang sedang coba membangun adik Isti yang Hipotermia membutuhkan sesuatu.

Setelah beberapa saat ia pun sadar. Cepat-cepat Isti menyuruhnya untuk terus membuka matanya. Mas Miji membuatkannya air hangat dan beberapa bahan campuran yang saya tidak tahu bahannya. Minuman itu mampu menghangatkan badannya yang sempat kedinginan hebat. Dan untuk beberapa saat juga suasana diluar tenda jadi terasa sangat menegangkan. Entah apa yang dipikirkan oleh kawan-kawan yang lain, tetapi dipikiran saya saat itu terlintas sosok Nina yang ada dalam buku Gitanjali yang beberapa waktu lalu saya baca sebelum mendaki. di alam bebas terutama di gunung, menjaga makan memang menjadi salah satu hal yang penting. karena mendaki juga harus mempunyai fisik yang fit, selain itu makanan juga menjaga tubuh kita agar tetap hangat. Itu sangat penting untuk menghadapi cuaca dingin di gunung.

Matahari mulai terbit. Gunung Welirang sedikit demi sedikit mulai terlihat kegagahannya. Posisinya bersebelahan pas dengan Gunung Pundak terlihat Gunung Welirang menjadi seperti tembok yang sangat besar. Rerumputan hijau yang menghiasi gunung Welirang dan warna-warni tenda dari para pendaki mempercantik tampilan ketika mengambil foto maupun memanjakan mata ketika kita melihatnya. Sungguh luar biasa lukisan sang Pencipta. Seberapa bagusnya foto yang kami ambil, tetap belum cukup untuk menggambarkan suasana indah itu secara langsung. Mata memang adalah lensa terbaik. Saat itu semua indra kita bekerja. Mata, telinga, hidung dan tentunya hati yang disertakan untuk bersyukur.

Setelah beberapa saat menikmati pemandangan. Kami berjalan menjelajahi alam sekitar. Siapa tahu masih ada tanaman-tanaman unik yang jarang dilihat atau pemandangan yang tidak kalah cantiknya. Setelah puas memandangi alam sekitar kami kembali ke tenda. perut kami sudah mulai lapar. Sebelum sampai di tenda sekitar jarak lima puluh meter, saya berhenti dahulu. Asfi mencoba berfoto ria lagi, sepertinya belum juga puas. Saya pun mengikutinya. Anak-anak yang lain sudah sampai di tenda.

Tetapi, beberapa saat, Fanani menghampiri saya. Dengan wajah seperti buronan kasus maling jemuran. ia lalu bercerita, bahwa baru saja ia membersihkan dan merapikan barang-barang yang ada di luar tenda. lalu ia melihat ada sebuah benda. Benda itu, tas karir yang tergeletak dan diatasnya terdapat jaket. jiwa kebersihannya terpanggil. Dengan sigapnya ia lantas mengangkat dan melempar tas tersebut dengan satu gerakan cepat. Tas itu terlempar, tanpa sadar ternyata ada kaki seseorang yang ada di dalam tas karir itu dan jaket diatas karir merupakan penutup badan dan kepala agar orang itu tidak kedinginan. Orang yang baru Fanani lempar adalah mas Miji. Tas karir digunakannya sebagai selimut. Karena menurutnya, tas karir membuat kakinya menjadi hangat serupa selimut.
Sebelum mas Miji sadar, ia lalu bergegas kabur. Saat itu saya yang mendengarkan tak bisa menahan tawa.

Kejadian lucu tersebut tak berhenti sampai disana. Ketika Asfi, Fanani, Dedek dan Brian kembali mengabadikan momen yang posisinya sekarang berada jauh dari tenda. Tinggalah saya, Isti, mas Miji dan beberapa kawan lain yang duduk-duduk di depan tenda sembari memasak makanan sambil menikmati secangkir kopi dan teh hangat. ketika saya sedang asyik menikmati kopi, mas Miji bercerita. Katanya tadi pagi sewaktu dia sedang tidur, rasanya ia bermimpi terbang, kakinya serasa melayang. Dan tiba-tiba saja ia terbangun. Dalam hati saya, pasti itu adalah ulah Fanani yang tadi. Dalam obrolan itu hanya saya yang tahu tentang cerita kejadian tersebut. kawan-kawan yang lain hanya menyimak dan mendengarkan cerita tadi. Saya hanya bisa menahan tawa.
Kami berkemas untuk turun. Matahari semakin terik, kabut dari Gunung Welirang yang sangat dekat dengan puncak gunung pundak perlahan juga mulai turun, mengiringi langkah kami untuk pulang.

Buku Ini Belum LunasWhere stories live. Discover now