Yang Pertama

3.6K 453 40
                                    

Yah, aku mengingatnya. Itu memang sepertinya kereta yang sama persis dengan kereta kuda yang pernah datang kerumah dulu. tentu saja aku mengingat jelas. karena  sejak kedatangan kereta kuda itu, hidupku menjadi jungkir balik tak karuhan.

"Iya Nul, itu kereta yang sama."

Aku segera bergegas kedapur, disana tampak Mbok Jinten, rewang di rumah Pakde Tugiran sedang menuangkan teko berisi teh kedalam beberapa gelas bening. Teh itu sepertinya akan disajikan untuk si tamu yang datang.

"Mbok, dayoh (tamu)-nya siapa?" Tanyaku pada Perempuan sepuh yang sudah mengabdi di rumah Pakde Tugiran sejak sebelum menikah dengan Bude Waginem.

"Tamunya Ndoro kakung mbak." Jawabnya singkat.

"Iya, siapa namanya?"

"Ndak tahu saya mbak. Wong tadi cuma diaba sama Ndoro Putri buat menyajikan teh."

"Ya sudah sini biar aku saja yang bawa teh-nya." aku mengambil nampan yang diatasnya tersedia gelas dan toples makanan ringan siap untuk disajikan ke Joglo.

Tapi baru berapa langkah meninggalkan dapur, Bude Waginem sudah berdiri dihadapanku.

"Lho Rum, kok kamu yg bawa tehnya? kamu kan lelah, baru saja sampai. malah bude juga belum sempat njamu kamu. Sini biar tehnya bude yang bawakan." Bude Waginem meraih nampan kubawa.

"Ndak bude, ndak papa. Biar Sekar Arum yang bawakan."

kupengang erat nampan yang akan diambil Bude Waginem. ini kesempatan emas. Aku harus tahu bagaimana rupa orang telah melamarku. akhirnya Bude Waginem menyerah dan membiarkanku membawa nampannya.

 Bude, itu dayoh-nya Pakde Tugiran ya?"

"Iya Rum, itu yang beli tanah dipekarangan yang dekat Madukismo. hari ini mau lunasi pembayarannya."

"Siapa namanya?"

sejenak kulihat Bude Waginem tampak curiga kenapa aku menanyakan perihal orang tersebut.

"sepertinya dulu pernah datang kerumah juga." kutambahkan sedikit alasan supaya bude tidak curiga.

"Ooo.. Raden Tjandra. dengar-dengar memang sering ngulon, rumahnya juga disekitaran Sedayu situ. Arum, Yuk Tehnya segera disajikan, nanti ndak keburu dingin." Ajak Bude Waginem. Akupun mengekor dibelakang beliau.

***

Seorang laki-laki berusia sekitar 23-an tahun duduk disebuah kursi rotan di tengah joglo. pandangannya tampak sibuk mengamati burung-burung dalam sangkar yang tergantung di beberapa sudut Joglo. 

laki-laki itu tampak mengenakan surjan satin berwarna biru muda dan jarik motif Tambal. Dari posturnya bisa dipastikan laki-laki itu adalah pemuda yang gagah. 

Setelah sedikit mengatur nafas aku masuk ke joglo disaat yang sama dia tampak memperbaiki duduknya. dari sini aku bisa melihat wajahnya dengan lebih jelas. Kulitnya yang lencir kuning, hidung bangir dan alis matanya tegas. Sangat tampan untuk orang diusianya.

Tanpa banyak cakap aku langsung menghidangkan Teh dan cemilannya diatas meja. Aku tahu kini diapun sedang mengamatiku. entah aku tak tahu apa yang ada dipikiranya sekarang. bisa jadi dia melamarkupun tidak tahu bagaimana wajahku.

"Monggo diunjuk mas." kupersilahkan lelaki itu menyantap sajian yang sudah tersaji. lelaki itu tampak menganggukkan kepalanya

"Njih dik, nuwun."

Akupun undur diri. Entah kenapa dadaku terasa sangat memanas dan ingin meledak. untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa berdebar-debar tidak karuhan seperti ini.

***

"Dik Sekar Arum!"

ada suara yang memanggil namaku. di Yoja, dikota ini tidak banyak yang mengenalku. sontak akupun menoleh kebelakang.

Pagi ini aku menemani Bude Waginem belanja dipasar Bringharjo. Kabut tipis masih menutupi tanah basah. tadi malam hujan lebat menguyur. jalanan tanah dan becek mengotori jarikku bagian bawah. jalan malioboro subuh itu tampak syahdu. beberapa anak berkejar-kejaran menangkapi laron-laron yang berterbangan.

ah... mustahil ada yang mengenalku disini. mungkin ada yang namanya sama.

saat ini Bude Waginem sedang tawar-menawar tampak sudah akan beranjak. kalau aku tidak bergegas menyusulnya aku akan tertinggal jauh darinya.

"Dik... Dik Sekar!" lagi suara itu memanggil namaku. kali ini terdengar lebih keras. jika aku menghentikan langkahku pasti aku akan tertinggal jauh dari Bude Waginem. Tapi aku yakin sekali bahwa kali ini benar namaku yang dipanggil.

Akhirnya aku kembali menghentikan langkahku.

"Belanja dipasar dik?" Raden Tjanda sudah berdiri didekatku. sepertinya dia mengenaliku. nyatanya dia mengetahui namaku.

"Ahh... I-iya." jawabku pendek. rasa hatiku campur aduk.

"Oh iya, kamu pasti bingung. Namaku Tjandra. Beberapa waktu yang  lalu pernah kerumah kamu. Umm... mungkin Pak Pawiro sudah pernah cerita."

"Raden Tjandra Wiyardi."

"Panggil saja kangmas." Sahutnya cepat sambil tersenyum ramah yang menawan.

Bagaimana mungkin orang setampan ini belum pernah menikah dan punya julukan joko tuo?

TBC


Garwa Kinasih (Istri Kesayangan). End-Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt