Garwa Kinasih

4.7K 497 102
                                    

Nama Raden Tjandra disebutkan sontak membuatku terkejut. Mengapa Sultan menyebut namanya? Mungkinkah beliau juga mengenal Raden Tjandra. Dikenali Sultan tentu berarti dia bukan nigrat biasa. Tunggu, Mungkinkan Raden Tjandra juga hadir disini? Dari posisi sujud seperti ini aku mencoba untuk melirik ke kanan maupun ke kiri, tetapi tetap saja gagal aku tidak bisa melihat apapun.

"Kanjeng Rama, Sekar Arum adalah selir saya bagaimana bisa rama membuat titah semacam itu." Pangeran Mangkubumi berusaha mempertahankanku.

"Bagaimana kamu bisa menyebutnya seorang selir, bahkan dia belum pernah mencapai kamarmu dan kamupun belum pernah menyentuhnya. Ikuti dan laksanakanlah titahku."

"Rama."

"Mangkubumi! Ini titah! Tapi bila itu kemauanmu pilihlah perempuan itu atau tahtamu sebagai pewaris!"

Seketika suasana menjadi tegang. Tidak ada yang berani membuat suara walaupun hanya sekedar hembusan nafas. Kini semua fokus pada pangeran Mangkubumi. Menanti jawaban apa yang sekiranya keluar dari mulutnya.

Bahkan Kanjeng Sultan mempertaruhkan tahta pewaris agar sang pengeran tidak meminangku. Ada apa ini?

"Sendika dhawuh." Ucap Pangeran Mangkubumi akhirnya yang kemudian mencairkan suasana. Jika aku bisa melihatnya sudah pasti tadi Sultan menatapnya dengan penuh keangkeran.

***

"Dik Sekar!" Suara Raden Tjandra terdengar, saat ini aku tengah menuju kereta kuda untuk  kembali kerumah. Aku menoleh kebelakang mencari asal suara, kulihat Raden Tjandra tengah berlari kecil menuju tempatku berdiri sekarang. Benar rupanya, dia ada di kraton.

"Dik Sekar apa kabar?" Tanya Raden Tjandra begitu jarak kami hanya tersisa beberapa langkah saja.

"Baik kangmas. Kalau kangmas sendiri bagaimana?"

"Baik. Oh... Dik Sekar tidak sehat ya? Kurus dan pucat sekali kamu, dik. Pasti berat melalui semua ini sendiri. Dik Sekar jangan keberatan menikah dengan kangmas ya?" Pinta Raden Tjandra, yang terdengar aneh ditelinga ini.

Aku tersenyum menanggapinya. "Yah, mau bagaimana lagi. Kan sudah terlanjur dititahkan."

Raden Tjandra tampak sedikit manyun, tapi kuabaikan. "Ah benar juga. Jadi sekarang Dik Sekar menyesal pernah milih Kangmas?"

Lho, tahu dari mana Raden Tjandra kalau aku sudah pernah milih dia, atau jangan-jangan rama yang mengatakannya saat menolak lamarannya yang terakhir kemarin.

"Itu, kata rama ya?"

"Bukan, kan dik Sekar yang mengatakan sendiri di surat yang terakhir."

Kucoba mengingat-ingat surat terakhir yang kukirimkan untuk raden Tjandra. Seingatku itu hanya Permintaan menemui rama jika ingin mengetahui jawaban lamarannya. Mana berani aku secara terang-terangan menulis perasaanku disurat.

Raden Tjandra mengeluarkan sebuah kertas dari balik surjannya dan menyerahkan kertas itu kepadaku. Kubuka lipatan kertas itu dan membacanya dengan seksama. Yah, aku memang menulis surat ini. Saat itu hatiku sangat hancur dan aku hanya menuliskan apa yang kurasakan saat itu. Tapi bukankah surat itu belum pernah kuserahkan padanya, bagaimana bisa surat ini bisa ada ditangannya.

Seketika rasa malu mengelayutiku. Aku benar-benar tidak berani menatapnya sekarang.

"Karena surat ini kuberanikan diri untuk membuat permohonan pada Sri Sultan."

Benarkah? Kuberanikan diriku untuk menatap wajahnya.

Dia tampak tersenyum menanggapi tatapan wajahku.

"Dulu, Sri Sultan sebelum bertahta pernah berhutang janji pada rama. Dik Sekar, setiap calon raja jawa yang akan dimahkotai membuat perjanjian dengan Belanda melalui para residen sebagai perwakilan ratu belanda. Termasuk Ngarso Dalem yang sekarang jumeneng. Ramaku dulu termasuk fasilitator untuk kontrak politik itu. Rama memiliki banyak keunggulan karena rama sendiri merupakan trah keluarga Pakualam yang sejak awal pembentukannya di inisiasi oleh Belanda. Banyak hal yang sudah dikorbankan rama untuk memenuhi kepentingan dari residen. Sampai-sampai keluarga kami harus tercerai berai. Salah satunya aku harus nyantri di rumahmu agar tidak diusik kompeni."

Wah aku tidak menyangka bahwa kejadian seperti itu benar adanya. "Saya kira rama hanya bercanda saat mengatakan ada seorang raden yang melamar saya pernah nyantri di rumah kami."

Raden Tjandra kembali tersenyum dan melanjutkan penjelasannya "Sri Sultan merasa tersentuh dengan pengorbanan rama, sehingga menghadiahkan beberapa hektar tanah begitu beliau naik tahta. Tetapi rama menolaknya secara halus karena yang beliau lakukan adalah wujud kesetiaan beliau. Akhirnya Sri Sultan mengatakan siap untuk  memenuhi permintaan dari rama."

"Jadi itu sebabnya sultan membuat titah itu?"

"Apa sekarang dik sekar kecewa?"

Aku menggelengkan kepala perlahan. Bagaimana bisa aku bisa kecewa dengan hal seperti ini. Ini adalah hal yang kunantikan dalam hidupku menikah dengan orang yang kucintai dan mencintaiku.

"Hanya saja ada yang masih membuat saya penasaran. Bagimana kangmas bisa memperoleh surat ini." Kuangkat lipatan surat yang tadi diserahkan Raden Tjandra untukku.

"Kalau itu, akan kuceritakan besok setelah kita menikah." Ucap Raden Tjandra sembari berjalan melaluiku. Akupun hanya mampu menghela nafas menahan rasa kesal dan berjalan perlahan mengikutinya jejak bayangan tubuhnya karena matahari sudah mulai mengelincir kebarat.

"Kangmas punya selir?" Tanyaku lirih.

Langkah pemuda itu terhenti sehingga aku nyaris menabraknya. Kini tubuh Raden Tjandra membalik kearahku. Salah satu tangannya terangkat seolah mengisyaratkan tengah menghitung. Pasti dia sedang menghitung jumlah selirnya.

Apakah segitu banyak selir yang dimiliki sampai harus mengangkat tangan untuk menghitungnya. Arum apa yang kamu harapkan? Laki-laki normal pasti memiliki selir.

"Ah. Aku baru meyadari kalau aku tidak memiliki selir." Kali ini Raden Tjandra tertawa dengan renyah. Aku yakin sekali dia sedang mengodaku sekarang.

"Dik Sekar, kangmas tidak terbesit satu keinginanpun untuk memiliki seorang selir. Makanya dik Sekar tak perjuangkan dengan begitu keras, karena kangmas hanya akan memiliki satu orang istri yaitu kamu, garwa kinasih-ku."

End-

Garwa Kinasih (Istri Kesayangan). End-Where stories live. Discover now