12

3.4K 186 4
                                    

Hai hai! Kangen gak sama cerita ini?
Kangen sama Ivan&Emi?
Sama Rey&Andrea?
Tsania?
Atau malah sama Yash yang ganteng?

***

Andrea berjalan menuju Rooftop tempat anak-anaknya berada. Gaya pakaiannya tak berubah sedari dulu, dengan rambut di ikat seperti ekor kuda, kini ia menggunakan atasan kaos putih polos dengan bawahan celana jogger abu-abu beserta sepatu berlogo centang warna putih. Sungguh anak muda sekali, bahkan wajahnya tak menampakkan kerutan, membuatnya tampak seperti wanita berusia 30 tahunan, padahal usianya sudah menginjak 40 keatas.

Sesampainya di Rooftop, ia melihat Emilio yang mencak-mencak karena lvan yang tak kunjung menghentikan tangisnya. Ia kemudian menghampiri Ivan yang langsung menghambur ke pelukannya. Andrea mengusap bahu Ivan, anaknya yang satu ini memang menuruni gen Rey yang cengeng dan sangat manja. Emilio juga manja, tapi tak menuruni gen cengeng Rey.

Ivan yang ramah, Emilio yang cuek. Ivan yang cengeng, Emilio yang tegas. Ivan yang selalu mengalah, Emilio yang keras kepala. Mereka sama-sama jahil. Mereka saling melengkapi dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

"Ivan kenapa?"

Ivan menggelengkan kepalanya, ia tak mau bercerita pada mamanya itu. Nanti malah diomelin, dibilang cengeng.

Andrea menghela nafasnya, anaknya yang satu ini tak mau menceritakan masalahnya. "Ya udah, jangan nangis. Kalo kamu butuh apa-apa kan bisa ngomong sama mama dan papa." Katanya sambil mengusap air mata Ivan.

Emilio memutar bola matanya jengah. Caper emang tuh kembaran. "Udah lah, ma. Mending mama telfon papa sekarang deh, daripada-"

"YA ALLAH, IYA LUPA." Sumpah, suara mamanya ini benar-benar cempreng, Emilio gak bohong.

Sedangkan Ivan mengumpat pelan. Ia akan dapat masalah setelah ini, percayalah. Papanya pasti akan menyalahkannya.

Dan benar saja, tak lama kemudian Rey datang sambil membuka pintu dengan sangat kasar.

Drama dimulai. Batin Emilio.

Rey menghampiri Andrea dan memeluk istrinya dengan sangat erat. "Kenapa gak izin aku dulu, sih? A-aku panik nyariin kamu. Kata orang rumah, k-kamu keluar tanpa ngasih tau tujuan mau ke mana, tanpa sopir, tanpa bodyguard. Aku a-aku panik."

Andrea mengelus punggung Rey yang bergetar. "Tadi aku dapat kabar dari Emi, si Ivan lagi nangis. Aku panik dan tanpa inget yang lain, aku langsung ke sini."

Rey mengalihkan pandangannya pada Ivan yang sudah ketar-ketir di tempatnya berdiri. Ivan seakan di jatuhi hukuman mati, karena nyatanya memang tatapan Rey sangat mengerikan.

"Kenapa kamu buat mama kamu panik?" Rey berkata dengan datar, tak perduli jika yang berhadapan dengannya ini adalah anaknya.

"Ivan gak bermaksud." Lirih Ivan yang tak berani menatap mata papanya, ia terus menunduk.

Andrea menengahi mereka. "Udah lah, Al."

"Kenapa berulah? Bolos lagi? Seharusnya sekarang kamu ada di kelas dan belajar, bukannya bolos gini! Jangan mentang-mentang ini sekolah milik papa dan kamu bisa berlaku sesuka hati." Rey tak menghiraukan Andrea.

"KAMU MAU JADI APA KALO GAK BELAJAR?! PEMULUNG? PENGEMIS?" Ivan semakin menunduk, bahunya bergetar hebat, sedangkan Emilio ikut tersentak dengan ucapan papanya. Cukup sudah, Rey benar-benar keterlaluan kali ini. Andrea kesal.

"REY, CUKUP!" Rey mematung, ia menggigit bibir bawahnya dengan mata yang berkaca-kaca dan menatap istrinya.

"Lihat? Kamu cuma di bentak gitu aja udah kayak gini. Gimana sama Ivan yang kamu bentak dan kamu kata-katain? Menurut kamu, sebagai orang tua, apa itu pantes? Bisa kan, ngomong baik-baik." Kaki Rey terasa sangat lemas. Ia limbung, Emilio membantunya menopang tubuh.

Andrea menghampiri Ivan dan mengusap kepalanya dengan sayang. Walau menyebalkan, anak-anaknya adalah harta yang paling berharga dalam hidupnya. "Kamu kembali ke kelas, belajar yang bener."

Kemudian ia menghampiri Emilio dan tersenyum lembut sambil mengusap pundak anaknya. "Kamu juga, cara berpikir kamu lebih dewasa, tolong bimbing Ivan, ya?"

Emilio mengangguk patuh. "Udah, kamu biarin aja papamu, kembali ke kelas sekarang." Mendengar itu, Emi melepaskan pegangannya pada papanya yang membuat tubuh Rey limbung.

"Maaf, maaf, maaf." Lirihnya. Ia jatuh terduduk bersimpuh di bawah istrinya.

Andrea menghela nafasnya pelan. "Lain kali, berpikir jernih. Kamu gak bisa nyakitin mental orang lain hanya karena kalut gak dapet kabar dari aku. Aku gak bisa selamanya dampingi kamu, kamu harus bisa atur emosi kamu."

Rey mendongak dan menggeleng dengan cepat. "K-kamu akan selalu di samping aku, dampingi aku, gak akan ke mana-mana, gak akan pergi." Ia memeluk Andrea dengan sangat erat, seolah jika ia melepasnya maka Andrea akan hilang dari sisinya.

Andrea tersenyum lembut dan mengelus rambut suami yang telah menemaninya lebih dari 18 tahun itu.





















***

















"Ivan kenapa?" Tsania bertanya pada Emi. Bukannya apa, tapi Ivan kembali ke kelas dengan keadaan yang berantakan, wajar jika seluruh murid di kelas itu penasaran.

Emi menatap Tsania lelah. "Jangan buat dia kacau." Setelah itu Emi pergi meninggalkan Tsania yang bingung.

Kacau? Emang gua ngapain sih? Apa yang tadi di kantin? Tapi gua kan cuma dorong pelan. Batin Tsania bertanya-tanya.

TBC.

Akhirnya Rea up ST lageeeeh. Gimana? Ada yang kangen sama cerita ini?

IVAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang