14

3.4K 169 11
                                    

Ivan menggenggam tangan Tsania. Tsania tak menyadari itu, ia sibuk memandang sekitar sambil menikmati sejuknya pagi.

"Tsan..."

"Hm" Tsania hanya berdehem kecil.

"Kamu punya mimpi?" Pertanyaan Ivan membuat Tsania menoleh padanya.

Tsania mengangguk. "Punya lah, kenapa nanya?"

Ivan tersenyum. "Aku pingin tau aja. Apa mimpi kamu?"

Tsania tersenyum seolah tengah membayangkan sesuatu. "Gua pingin keliling dunia, mengunjungi berbagai negara, belajar budaya mereka, dan tentunya mengenalkan Indonesia sama mereka..."

"...gua pingin ke Eropa, terutama belanda." Lanjutnya.

"Kenapa di sana?"

"Karena yang gua denger, di sana mereka sangat menghargai lingkungan, dan tentunya orang lain. Mereka gak menggunakan kendaraan bermotor supaya lingkungan mereka terjaga dan generasi selanjutnya gak menanggung beban penyakit yang disebabkan oleh polusi udara. Bahkan mereka lebih milih make sepedah kayuh..."

"...Indonesia perlu belajar dari mereka. Jepang juga negara bagus, semakin kaya penduduknya, bukan semakin banyak kendaraan pribadi yang mereka miliki, malah mereka gak menggunakan kendaraan pribadi, tapi justru memilih naik kendaraan umum. Mereka berfikir, mereka akan bahagia jika sudah berjasa untuk orang lain. Dan mereka mewujudkannya dengan meminimalisir pencemaran udara, supaya udara di sekitar mereka terjaga dan mereka tidak membuat orang lain sakit karena polusi udara yang mereka ciptakan."

Ivan terperangah. Ia geleng-geleng kepala, cara berpikir Tsania benar-benar luar biasa.

"Kamu kenapa kepikiran gitu?"

Tsania menggedikkan bahunya. "Gak tau, gua cuma ngerasain aja penyebab masyarakat gak melakukan hal yang Belanda dan jepang lakukan. Contohnya aja nih, sekarang cuaca pagi gak se sejuk dulu waktu gua kecil. Baru juga jam enam, tapi udara udah kayak jam sepuluh. Panas, makanya gua lebih suka tinggal di rumah nenek."

"Emang rumah nenek kamu di mana?"

"Di kota Batu, Malang."

Ivan mengangguk-angguk. "Yang katanya dingin banget kayak di Bandung itu, ya?"

Tsania mengiyakan, mereka kembali berjalan dalam diam.

"Kalo mimpi lu?" Ivan menoleh pada Tsania sambil menunjuk dirinya sendiri. "Iya, lu lah. Emang gua ngomong sama siapa lagi coba." Tsania mulai kesal.

Ivan cengengesan. "Mimpi aku, cuma pingin lihat orang-orang yang aku sayang bahagia. Mama, Papa, Emilio, Nenek, Grandpa, Om Yash yang nyebelin, dan tentunya... kamu."

Dan untuk pertama kalinya Tsania merona malu karena Ivan. Ivan terkejut, tak lama kemudian tersenyum bahagia. Ia mengeratkan genggaman tangannya pada Tsania, kembali berjalan menuju taman komplek.






















































***










































"Papa mana, ma?" Ivan heran, tumben papanya belum pulang. Biasanya selalu pulang jam 5 tepat, tapi sampai sekarang belum pulang juga. Padahal sudah jam 10 malam, bahkan papanya sudah melewatkan makan malam bersama.

Andrea menghela nafas. "Masih di kantor, mungkin? Akhir-akhir ini papamu pulang tengah malem, perginya juga abis sholat subuh langsung berangkat. Lagi sibuk banget kayaknya."

"Tapi mama masih rutin ngasih makan siang buat papa 'kan?"

Andrea menggeleng. "Papamu bilang, dia gak mau diganggu dulu. Katanya bisa delivery order gitu."

"Masa sampe kayak gitu?"

"Ya makanya kamu sekolah yang bener, biar bisa bantuin papa kamu."

Ivan cemberut. "Ivan kan pinginnya jadi arsitek."

Andrea terkekeh, ia mengusap rambut Ivan penuh kasih sayang. "Iya, apa yang baik buat kamu aja."

Tak lama kemudian Emilio datang. "Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumsalam. Dari mana aja kamu, Em?" Tanya Andrea.

Emilio memandang mamanya dengan pandangan yang sulit diartikan. "Dari rumah temen, ma."

"Kok gua gak diajak?" Ivan memicing curiga.

Emilio menatap Ivan seolah berkata, nanti gua jelasin. Ivan memutar bola mata. "Udahlah, tuh, makan dulu. Keburu dingin." Ivan menunjuk lauk pauk yang masih banyak, memang seharusnya itu untuk makan berempat 'kan? Tapi baru ia dan mamanya yang makan.

"Em, kamu jangan pulang malam-malam lagi. Mama perhatikan, kamu sering pulang malem akhir-akhir ini. Kenapa?" Andrea menyuapi Emilio yang sedang bermain ponsel.

"Cieeee mama perhatian banget sama Emi, cieeee." Emi tersenyum lebar.

Andrea mengetuk kepala Emi dengan kesal, ditanyain kok malah berjanda. Eh?

"Kamu itu mbok ya jangan main terus, Ivan sendirian, gak ada temen berantem. Mama juga ngerasa sepi, papamu sering pulang malem juga. Gak kasian kamu sama mama?"

Emilio mengepalkan tangannya di bawah meja, tak lama kemudian ia menetralkan emosinya dan menatap mamanya dengan sayu. "Mama, jangan tinggalin Emi."

Andrea mengangkat satu alisnya. "Kamu kenapa? Tumben manja." Pasalnya Emilio kini menyandarkan kepalanya pada bahu mamanya.

"Ih, Ivan pingin juga." Ivan ikut-ikutan.

Emilio menggeleng. "Gak apa-apa, pokoknya Emilio sayang mama, jadi mama jangan tinggalin Emiliomu yang tampan ini." Ivan berdecak. Sifat narsistik kembarannya lagi kumat, biasanya kalo udah gini berarti ada masalah. Nanti saja ia tanyakan, sekarang jangan sampai Emilio itu merebut mamanya! Pokoknya jangan!

"Mama di sini, sama kalian. Kenapa mama harus pergi? Orang-orang yang mama sayangi kan ada di sini." Emilio tersenyum. Setidaknya ia lebih tenang dari sebelumnya.

TBC.

GEMANAH? Ada aroma-aroma mencurigakan, yah? Sepertinya ini aroma-aroma kalian yang belom mandi! Hm... ckckck, emang mandi 2x di hari libur itu sebuah tindakan pemborosan. Gak mikir orang2 di afrika yang kekurangan air apa yah?

IVAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang