26

3.6K 138 13
                                    

UN telah selesai, dan seperti yang diucapkan Tsania dulu, ia tak lagi memberikan senyum pada Ivan, bahkan melirikpun rasanya enggan. Memandang wajah itu hanya mengingatkan Tsania pada perbuatan bejat Ivan. Cowok itu seperti pemandangan yang menyakiti mata.

Tsania berusaha mati-matian untuk tak lagi perduli pada Ivan yang kini tengah berjalan menggunakan tongat ke arah yang berlawanan dengannya.

Tongkat? Iya, Ivan berjalan dengan bantuan tongkat. Bagaimana bisa? Ivan begitu menyesali perbuatannya malam itu, ia sangat menyesal. Berkali-kali ia meminta maaf pada Tsania, tapi cewek itu saja enggan hanya sekedar meliriknya barang sedetikpun.

Ivan seperti kehilangan kewarasannya. Cintanya kini membencinya. Apa lagi yang bisa ia lakukan selain memohon? Berkali-kali ia menemui Tsania, cewek itu selalu menghindarinya.

Ia benar-benar kehilangan arah, Tsania seolah tak pernah menganggapnya ada. Ivan sakit hati, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Hingga malam itu ia berada di puncak kelelahannya, ia melompat dari balkon kamarnya. Ia tak memikirkan bagaimana nantinya perasaan mama dan keluarganya.

Ivan benar-benar gila. Ia putus harapan, karena Tsania tak lagi memperdulikannya. Bahkan setelah Ivan dirawat di Rumah Sakit karena kaki kanannya yang patah setelah melompat dari lantai dua, Tsania tak menjenguknya sama sekali. Ivan sadar betul, ia telah menorehkan luka pada cewek yang dicintainya.

Cinta apa yang tak bisa percaya? Cinta apa yang ragu saja masih ada? Ivan sepertinya tak layak untuk mencintai Tsania. Cintanya tak memberi kepercayaan, untuk apa dipertahankan? Tentu Tsania tak akan mempertahankannya, dan terbukti kini ia terlepas dari cewek itu.

Memang pantas Tsania melepaskannya, tak ada yang bisa dipercaya dari cinta Ivan. Jika tak bisa terus berjuang, jika tak bisa terus bertahan, dan jika tak bisa percaya, maka jangan berani sebut utu cinta! Ivan tak mempercayai cinta Tsania, lalu bagaimana bisa ia mengharapkan Tsania mempercayai cintanya? Bodoh sekali, bukan?

Saat bersimpangan dengan Ivan, Tsania hanya menatap lurus tanpa berniat melirik Ivan barang sedikitpun. Tsania meneguhkan hatinya, mencoba tak perduli.

Sedangkan Ivan merasa tubuhnya melemas saat Tsania tak menghiraukan keberadaannya. Ivan terjatuh, kaki kirinya tak mampu menahan bobot tubuhnya, tangannya juga tak sanggup memegang tongkatnya. Ivan jatuh bersimpuh, sambil menunduk ia terus menyebut nama Tsania. Ia terisak, rasanya tak sanggup merasakan siksaan ini.

Murid-murid yang lain berusaha membantunya, tapi Ivan menolak. Ia hanya mengharapkan Tsania, tapi Tsania bahkan tak berhenti berjalan walau tau jika Ivan terjatuh. Hei, bodoh! Apa yang kau harapkan dari perempuan yang telah kau sakiti berkali-kali?

Ivan terus menggumamkan nama Tsania, berharap Tsania mendengarnya dan berbalik menolongnya, mengomelinya karena tidak mau istirahat di Rumah Sakit, memasakkan rendang kesukaannya. Hanya berharap yang bisa Ivan lakukan, tanpa tau jika harapannya itu hanya harapan semu.

Di ujung koridor, seorang wanita paruh baya menatap putranya sambil berlinang air mata. Ia sedih, ketakutannya telah terjadi.

Aldi, dia melakukan kesalahan yang sama seperti yang kamu lakukan dulu. Apa yang harus aku lakukan?

***

Tsania mengemasi pakaianya dan memasukkannya ke dalam koper abu-abu yang akan ia bawa nanti. Ia akan pergi, memulai permainannya bersama Ivan. Bermain petak umpet, dan ia akan bersembunyi se lama yang ia bisa. Air mata tak henti menetes dari kelopak matanya. Berat rasanya meninggalkan kenangan dua tahun belakangan ini, tapi ini sudah menjadi keputusannya. Ia harus pergi, memulai lembaran baru, mewujudkan mimpinya. Ia akan berkeliling dunia, sendirian. Entah dimulai dari negara mana, tapi pastinya hanya akan berakhir di tempat yang sama di mana ia memulai. Di negara kelahirannya, Indonesia.

"Tsan, sudah siap?"

Tsania mengusap air matanya, "udah, sebentar lagi gua turun, Nja."

Senja akan mengantarkan Tsania ke bandara menggunakan mobilnya. Sebenarnya ia benar-benar tak rela cewek yang ia anggap seperti adiknya itu akan pergi jauh meninggalkannya, bahkan Tsania tak akan mengikuti acara perpisahan nanti.

Mereka telah sampai di bandara, dan pengumuman bahwa pesawat yang ditumpangi Tsania nanti akan segera berangkat telah terdengar. Senja memeluk cewek di depannya dengan erat, rasanya masih tak rela.

Tsania mengusap punggung lebar Senja, cowok yang selalu ada disampingnya, yang selalu menguatkannya. "Gua bakal berusaha selalu hubungin lu tiap hari." Bisiknya pada Senja.

Senja terkekeh, kemudian ia melepas pelukannya dari Tsania. Ia mengacak rambut cewek itu yang membuat Tsania menggerutu kesal.

"Udah, sana pamit sama ortu lu!" Tsaniapun memeluk Ayah dan Bundanya bergantian. Ia harus meninggalkan mereka, belajar hidup mandiri di negeri orang.

"Aku pamit, assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumsalam..." jawab mereka kompak. Kemudian Tsania berjalan dan menghilang dari pandangan mereka. Lima menit kemudian saat mereka hendak beranjak, tiga pemuda tampan berjalan menghampiri mereka.

"T-tsania, di mana Tsania?" Ivan bertanya dengan panik. Ia menggenggam tongkatnya dengan erat. Dua temannya yang lain mencoba menenangkannya dengan mengusap pundak Ivan.

Senja memandang sinis pada Ivan. "Selamat, lu terlambat." Ia hendak meninggalkan Ivan yang mematung jika saja ia tak teringat akan pesan Tsania padanya.

"Oh iya, Tsania titip pesen buat lu. Dia bilang, 'permainan dimulai'." Setelah itu Senja dan kedua orang tua Tsania meninggalkan Ivan yang memandang kosong lantai di depannya. Ia terlambat?

Ivan sadar, hidupnya tak akan kembali sempurna. Kenapa? Karena ia telah kehilangan sumber kehidupannya.

END.

Akhirnyaaaaa, yey tamat!!!
😂😂😂😂

IVAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang