O9

5.5K 1K 16
                                    

          jeno terbangun lebih dulu, bingung sebab ia tak berniat untuk tertidur disana.

namun ia mengakui bahwa tubuh jaemin yang berada dalam dekapannya membuatnya merasa tenang.

wajah jaemin terlihat damai dengan kepala bersandar pada dada jeno.

jeno tidak ingin mengganggu tidur jaemin, namun tak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh surai halus yang lebih muda, netranya menatap dengan kagum.

tidak memakan waktu lama untuk jaemin membuka mata, sebuah desahan pelan keluar dari bibirnya yang sedikit kering.

"apa aku membangunkanmu?" tanya jeno, terdengar agak menyesal.

jaemin menggeleng, menghirup aroma jeno. "kau sangat wangi," gumamnya dengan lelah, dan jeno memutuskan untuk mengabaikan pujian itu.

"sepertinya kau sangat membutuhkan... tidur siang? apa pun itu."

"aku belum tidur sejak kembali dari rumah sakit." jaemin berujar pelan, dan jeno lanjut memainkan rambutnya.

"aku sangat takut untuk tidur. tiap aku menutup mata, bayangannya terlintas disana... dan itu membuatku frustasi." jeno merasakan penyesalan membakar dirinya.

"terima kasih untuk tidur yang nyaman ini. maaf, aku tidak bermaksud untuk menahanmu melakukan tugasmu." jaemin duduk di ranjangnya, memaksa diri untuk terlepas dari pelukan jeno, dan jeno memaksa dirinya untuk melakukan hal yang sama.

"kau harus pergi, kau tak boleh terus menghabiskan waktumu untukku." jaemin berucap dengan senyum, namun jeno merasakan dadanya tertusuk dengan halus.

"kau sepadan dengan waktu yang kuhabiskan." jeno menjawab dengan tenang sambil berdiri, memperbaiki pakaian serta rambutnya dengan jari-jarinya.

"satu hal terakhir," jeno melirik jaemin setelah memakai sepatunya, kedua mata mereka berbicara lebih banyak dari yang suara mereka pernah keluarkan.

tatapan yang mengatakan 'kumohon, jangan pergi' dan bibir bergetar yang tak berani menyuarakan kalimat itu.

"ya?" suara jaemin begitu pelan, hatinya berdetak dengan bodohnya hanya karena beberapa kata.

"aku ingin kita tetap bisa berhubungan, dan akan jauh lebih mudah bila kita bertukar nomor telepon. kau tau, aku tidak bisa melihatmu terluka. jadi, jika kau perlu berbincang... telepon aku."

jeno menaruh sebuah kartu kecil berisi nomornya di nakas milik jaemin.

dan dengan itu, ia melangkah keluar ruangan tanpa menoleh ke belakang, berselisih dengan perasaannya sendiri dan rasa sakit luar biasa ketika menutup pintu di belakangnya.




          jaemin tidak menghindari tawaran jeno. jadi ia menelponnya, merasa bersalah ketika melirik jam yang menunjukkan waktu saat itu.

jam dua pagi, dan jaemin masih terjaga.

dia tidak bisa tertidur, tidak perduli berapa kali ia berguling dan berbalik.

"halo?" suara serak jeno bergema dari seberang sisi, membuat jaemin memegang ponselnya lebih erat sambil bergerak duduk di ujung tempat tidurnya, kaki menyapu karpet lembut di lantai.

"maafkan aku... aku tau ini sudah malam, tapi aku tidak bisa tidur. dan... kau benar. aku perlu berbicara."

"aku tidak tidur." jeno meyakinkan dengan senyum puas di bibirnya, "aku senang kau menelpon, bicaralah padaku."

jaemin menghela napas pelan, mengayunkan kakinya dengan gerakan lambat, "aku merasa tidak enak. dan aku tidak bermaksud merepotkanmu tadi. jadi aku minta maaf untuk itu..."

"kau tidak merepotkanku. kau sedang melalui masa yang sulit, cobalah untuk santai pada dirimu." jeno mengganti senyum kecil itu dengan raut khawatir, dan jaemin memejamkan matanya.

"semua orang membicarakannya... semua orang sudah tau tentang hal itu. mereka memintaku melakukan wawancara..."

"tolak mereka. aku akan memastikan mereka berhenti mengganggumu dengan semua ini, kau butuh istirahat." jeno berjalan menuju mejanya, bersiap untuk mencari semua nomor saluran berita dan gosip untuk memberi perintah tegas, namun berhenti ketika mendengar suara jaemin.

"aku ingin melakukannya."

"kau... mau melakukannya?" ucap jeno, duduk di kursinya, kebingungan terpancar dalam suaranya.

di sisi lain, jaemin menghela napas dalam. "iya. aku pikir penting untuk berbicara tentang masalah ini. aku ingin membawa kesadaran bahwa diriku bukanlah satu-satunya yang berada dalam situasi ini."

"bisakah kau membayangkan berapa jumlah remaja yang kesusahan dan menderita dari rasa takut kehilangan segalanya? itu bukan suatu hal yang harus tetap kudiamkan." suara jaemin bergetar dengan rasa percaya diri dan sedikit ketakutan, dan jeno mendengar dengan cermat tiap kata-katanya.

"kau tau? aku pikir itu sangat mengagumkan. tapi lebih baik jika kau menunggu sedikit lebih lama, kau harus merawat dirimu sendiri terlebih dahulu." jeno memaksa, tangannya meraih dasi miliknya, menariknya dengan lembut, tersenyum karena rasa familiar dari gerakan itu.

"jika kau berkata seperti itu..." jaemin mendesah pelan, kepalanya bersandar pada bantal.

"tuan presiden?" suara jaemin lebih pelan dari sebelumnya, dan jeno tersenyum pada panggilan yang sangat ingin ia dengar dari lama. "iya, starlet?"

jaemin tersenyum lembut pada panggilan baru itu, merasa nyaman dengan suara jeno memenuhi pendengarannya dan kehadirannya mengisi ruangan.

"kau tak pernah memanggilku seperti itu sebelumnya," ucap jaemin dan jeno terkekeh.

"tidakkah itu cantik? kurasa itu cocok untukmu. kau seorang bintang."

jaemin menemukan dirinya tertawa geli, merasa semakin rileks dan tenang, hatinya dipenuhi emosi yang baik datang padanya sekaligus.

senyum jeno melebar pada suara merdu yang beresonasi di pendengarannya.

"bintang, katamu?"

"bintang paling terang yang pernah ada."

sambungan telpon di larut malam menjadi rutinitas jeno dan jaemin.

mengobrol berjam-jam hingga terlelap, membicarakan banyak hal dengan tujuan mendengar suara satu sama lain.



ㅡㅡㅡ
bentar aku ganti
nama jadi starlet
dulu,,, heheheh

national anthem ; nominWhere stories live. Discover now