Part 2

1K 177 9
                                    

Arthit memang pemarah, tapi dia juga mudah merasa bersalah. Itulah sebabnya esok sorenya dia kembali ke fakultas ekonomi. Belajar dari pengalaman hari sebelumnya, dia melepas kemeja kebesaran fakultas teknik dan menyisakan kaos hitamnya saja. Laki-laki itu duduk di pinggir lapangan basket sembari menatap kosong beberapa mahasiswa yang terlihat sibuk dengan latihan mereka. Kantin fakultas itu belum tutup tapi suasana hatinya tidak cukup baik untuk menghabiskan waktu disana seperti sebelumnya.

Sesekali pandangannya dialihkan ke sekitar untuk mencari sosok yang tak asing di matanya, namun tak sedikitpun bayangan yang dia maksud itu bisa ditemukan. Dia mendesah, langit sudah memancarkan warna jingga namun penantiannya sepertinya akan sia-sia.

Para mahasiswa yang bermain basket sudah mulai membubarkan diri, dan Arthit berniat melakukan hal yang sama saat seseorang mengambil tempat duduk di sebelahnya dengan sebotol air mineral yang tersodor ke arahnya. Saat Arthit menoleh, laki-laki itu sempat hampir menunjukkan senyum kelegaan namun buru-buru dikuasainya ekpresi itu dengan membuang muka beberapa saat, Arthit lalu menerima air minum itu tanpa suara.

"Apa yang p' lakukan disini?" Sebuah ponsel kembali diarahkan padanya.

Arthit berdehem sejenak sebelum kemudian menjawab "A-aku mau memberimu kabar kalau anak-anak yang mengeroyokmu kemarin sudah ditemukan dan dihukum di fakultasku. Hanya saja ternyata tidak semuanya mahasiswa teknik, aku tidak tahu sisanya tapi ketua OSPEK disana pasti akan menggali informasi lebih dalam lagi soal mereka" Ujarnya memberi penjelasan.

Tadi pagi, tidak, bahkan semalam setelah pemuda itu menghilang dari hadapan Arthit, mahasiswa teknik itu langsung mengambil sepedanya untuk kembali ke fakultas guna menemui teman-temannya. Tidak sulit untuk memancing reaksi mereka karena saat itu wajah Arthit masih terluka karena perkelahian yang terjadi padanya. Saat itu juga mereka segera mencari tahu, pumpung ingatan Arthit masih hangat, mereka meneliti foto-foto para mahasiswa baru baik yang aktif menghadiri OSPEK maupun yang sering absen. Pagi harinya, mereka bekerja cepat mendatangi kelas-kelas yang dimaksud untuk menuntut pertanggung jawaban. Dan saat itulah untuk pertama kalinya Arthit berdiri di tengah kerumunan dengan wajah garang dan suara menggelegar, hanya demi memberi peringatan keras pada para junior agar tak berbuat macam-macam dan mencoreng nama fakultas.

Sebenarnya p' tidak perlu melakukan itu, tapi... terima kasih!

Arthit mengangkat bahu, lantas kembali menatap lapangan yang sudah kosong. Lampu-lampu sudah dinyalakan namun Arthit belum berkeinginan pergi dari sana. Tanpa sadar dia malah melamun, sampai sebuah sentuhan ringan membuatnya berhjengit sehingga dengan reflek ditampiknya apa saja yang menyentuh di wajahnya, saat dia sadar, ternyata tangan si junior ekonomi itulah pelakunya.

"Maaf. Kau mengagetkanku" Ujarnya tidak enak. Rasa-rasanya ada udara dingin yang mendadak membuatnya menggigil saat tahu wajahnya baru saja disentuh oleh orang lain.

Luka di wajahmu... aku tidak sempat memperhatikannya kemarin. Maafkan aku. apakah itu baik-baik saja? apa sudah diobati?

"Jangan khawatir. Ini bukan hal besar"

Syukurlah kalau begitu. Terima kasih sekali lagi.

Arthit tersenyum kecil saat memperhatikan pemuda itu terus mengetik di ponselnya agar bisa berbincang dengannya. Pikirnya, pasti sangat menyebalkan tidak bisa langsung mengutarakan apa yang ada di pikiran.

Pemuda itu menatapnya dengan bertanya, lalu menggerakkan bibirnya yang cukup bisa ditangkap lawab bicaranya "Kenapa?"

Arthit buru-buru menggeleng. Takut pemikiran isengnya justru membuat tersinggung. "Ngomong-ngomong... siapa namamu?" Tanyanya sebagai usaha mengalihkan pembicaraan, hanya dia menyesalinya sedetik setelah bertanya begitu menangkap senyuman yang di tunjukkan pemuda itu. Arthit buru-buru membuang muka.

Kongpob.

"Oh..." Jawabnya singkat. Karena menurutnya pertanyaan tadi hanyalah kalimat terpeleset, Arthit tidak merasa harus balik menyebutkan namanya, tapi pemuda yang sempat dia kira aneh itu terus menatapnya dengan seksama, membuatnya mau tak mau jadi harus mengatakannya "Aku Arthit, tingkat tiga" Ujarnya kemudian. Kongpob akhirnya tersenyum puas.

Arthit tiba-tiba berdiri "Oke. Pesanku tadi sudah aku sampaikan. Jadi sampai jumpa" Pamitnya cepat, sebelum kemudian melangkah meninggalkan lapangan dan melangkah ke arah jalan besar menuju asrama. Kedua tangannya dia tangkupkan di kedua telinganya, merasakan hangat yang aneh berasal dari sana. Ini adalah pertama kalinya dia merasakan darah mengalir ke telinga dan wajahnya padahal emosinya tidak dalam keadaan mendidih, sepertinya dia benar-benar merasa bersalah sampai-sampai tidak tahan berdekatan dengan anak baru itu.

'Tenang, Arthit. Kau sudah menebus kesalahanmu dengan memberi pelajaran pada yang bersalah. Lagipula bukan salahmu, kan kalau kau tidak tahu bagaimana keadaannya?!' gumamnya meyakinkan diri.

Langkahnya kemudian terhenti saat dilihatnya segerombolan orang sedang duduk-duduk santai di depan minimarket. Arthit mengenali mereka sebagai penghuni asrama yang sama dengannya, cukup akrab dan tidak berbahaya. Hanya saja karena mereka bergerombol, dan beberapa yang memegang rokok membuatnya mendadak mengingat Kongpob, dan membuatnya berbalik seketika.

Kongpob masih di tempatnya, duduk di bangku pinggir lapangan dengan punggung bersandar santai, Arthit buru-buru mendekatinya saat melihat dia tak sendiri. Dia tidak sempat menangkap apa yang mereka perbincangkan karena orang itu keburu pergi memasuki gedung fakultas. Kongpob yang baru menyadari kembalinya Arthit langsung menegakkan badan dengan tatapan bertanya.

"Siapa dia?" Tanya Arthit kemudian.

Kongpob tersenyum dan menggerakkan bibirnya, kata 'teman' terbaca dari sana.

"Kau yakin? Bukan orang yang ingin membully-mu?"

Kongpob menggeleng tegas, membuat Arthit seketika menghela nafas lega. Dan saat Kongpob memiringkan kepala sambil menatap matanya, Arthit seakan baru sadar alasannya kembali kemari.

"Aku lupa kalau asrama kita searah. Ayo pulang bersama" Ajaknya yang langsung disambut baik oleh Kongpob, mahasiswa itu langsung berdiri dan menyampirkan ranselnya untuk mengikuti Arthit. Dan karena sekarang Arthit sudah tahu keadaan mahasiswa baru itu, dia tak lagi berusaha memancingnya bicara, perjalanan mereka dikuasai diam, hanya sesekali laki-laki itu membuka mulut saat ada orang yang menyapanya, termasuk gerombolan yang sempat dilihatnya nongkrong di depan minimarket. Sapaan mereka menyadarkannya kalau kecemasannya sebenarnya tanpa alasan.

Saat langkah keduanya terhenti, mereka berada di depan pintu asrama Kongpob. pemuda berkemeja putih itu kembali mengatupkan kedua tangan dan menggumamkan terima kasih yang langsung dibalas dengan anggukan oleh seniornya. Arthit baru beranjak saat Kongpob benar-benar menghilang di balik pintu. Dia menghela nafas, tak mengerti kenapa hari ini terasa aneh untuknya.


-TBC

Innocent SaviourWhere stories live. Discover now