Part 4

795 146 5
                                    

Tendang-tangkis-hantam, Arthit tak lagi sering melakukan kegiatan semenyenangkan ini dalam waktu lama, melepaskan beban tanpa perlu memikirkan cibiran orang yang menganggapnya sebagai pembuat onar. Dulu saat SMA, dia punya samsak tinju sendiri di rumah, benda yang sengaja ayahnya pasang karena tahu temperamen buruk putranya butuh dilampiaskan dengan cara yang benar, yang begitu menginjak bangku kuliah, olahraga itu tak lagi dia lakukan karena kesibukannya sebagai mahasiswa yang cukup menguras tenaga.

Merasa puas dan kelelahan, mahasiswa teknik itu mengistirahatkan tubuhnya diatas lantai, senyum cerah nampak menghiasi bibirnya meskipun keringat tak berhenti mengalir di kedua pelipisnya. Menurut Arthit, olahraga fisik selalu berhasil mengangkat beban dan amarah yang ada di hatinya sehingga membuatnya lebih rilex dan mengembalikan kualitas tidurnya menjadi lebih teratur, kalau saja dia bisa melakukannya setiap hari.

'P', apa kau yakin kau tidak punya dendam padaku atau apa?'

Kongpob melemparkan pertanyaan yang membuat Arthit melongo, sang junior ada di sebelahnya, tidak berbeda lelahnya dengan dirinya namun tak terlihat senyum di bibirnya. Tentu saja, memangnya siapa yang akan senang jika dirinya dijadikan obyek pengganti samsak dan digulingkan berkali-kali.

Arthit terkekeh dan meninju pelan bahu Kongpob, "Hey, aku hanya bercanda"Ujarnya santai, "Lagipula aku tidak benar-benar membantingmu,'kan? aku hanya ingin menunjukkan serangan semacam itu yang paling umum terjadi, kau bisa mencoba melawannya"

Kongpob menunjukkan gestur mencibir,

'Kau menyuruhku datang ke tempat ini dan bilang ingin mengajariku, tapi tidak memberitahuku bagaimana caranya dan malah mendemonstrasikan caranya menghajar orang'

"Oke, oke. Aissh, kau membuatku merasa tidak ada bedanya dengan orang-orang brengsek itu"

Kongpob mengangkat alis, seakan membenarkan kalimat barusan.

"Aku akan mengajarimu dengan serius kali ini, tapi... ada satu syarat"

Lucu sekali, batin Arthit, dia yang cemas, dia yang memberikan usul, dia yang merepotkan diri sendiri, dan sekarang, dia pulalah yang menunjukkan rasa pamrih. Laki-laki itu melirik pemuda di sebelahnya yang terlihat sama herannya dengan dia.

"Ajari aku bahasa isyarat!"

'Kenapa?'

Ya, kenapa?

Arthit membuang muka dan berdehem sejenak, "Kau... terlihat kerepotan setiap ingin mengatakan sesuatu padaku"Ujarnya seraya menunjuk ponsel yang ada di genggaman juniornya, ponsel itu ada di pinggir ruangan sebenarnya, namun Kongpob rela merangkak diantara lelahnya demi bisa mengatakan protesnya pada Arthit.

"It's okay, P', aku sudah terbiasa melakukannya, terlebih pada orang baru"

"Oh, jadi kau berniat terus menganggapku orang baru?"

Tentu saja tidak, Kongpob sangat ingin mengatakannya tapi bibirnya hanya mampu bergerak dan mendengungkan suara serak. Menghela nafas, dia kembali menekuri ponselnya untuk menuliskan mengoreksi kalimatnya.

Sebenarnya ucapan sang senior cukup masuk akal, dirinya sering frustasi karena tak bisa mengungkapkan maksud hatinya dengan cepat seperti orang-orang pada umumnya, hal tersebut membuatnya malas beradu pendapat dan memilih alternatif lain untuk menyelesaikan masalah atau membuktikan sesuatu.

Kongpob baru menulis dua kata saat Arthit menghentikannya, pemuda itu terpaku menatap tangan pucat yang tengah menggenggam kedua tangannya beserta ponselnya tersebut.

"Aku... menganggapmu sebagai teman. Dan sebagai teman yang baik, kurasa ada baiknya kalau aku mengerti bagaimana caramu berkomunikasi. Lihat teman-temanmu di fakultas, bukankah mereka juga meluangkan waktu untuk belajar sebagai bentuk perhatian mereka padamu, 'kan?

Kongpob mengerjap, seperti menyerap kalimat Arthit yang terdengar tulus.

'Jadi, P' ingin menunjukkan perhatian padaku?'

"Kenapa pertanyaanmu terdengar salah, ya, di telingaku?" Arthit pura-pura mengorek telinga, lantas berdiri mengabaikan juniornya yang akhirnya terkekeh karena tingkahnya, "Istirahat selesai, ayo lanjutkan. Ini akan jadi latihan pertama dan terakhir kalau kau tidak mengabulkan permintaanku tadi, sebaliknya, kalau kau menerima, hmm..."

Kongpob menuliskan jawaban pada akhirnya 'Tergantung, kalau P'Arthit serius mengajariku dan tidak sekedar membantingku kesana kemari. Dengan senang hati kita barter'

Arthit tersenyum cerah, sisa hari itu dihabiskannya untuk mengajari Kongpob dasar-dasar membela diri. Dan jika keisengannya muncul, secara acak Kongpob akan tiba-tiba dibanting ke atas matras dan membuat sang junior mengerang karena terkejut. Arthit akan terpingkal-pingkal jika Kongpob kesal dan berusaha memutar keadaan tanpa teknik.

Pada akhirnya, Arthit tak lagi bingung saat mendapati dirinya kembali mengantarkan sang junior sampai ke depan pintu asrama, tangannya dengan santai melambaikan tangan perpisahan dan berjanji akan menjemputnya esok pagi. Seakan saat itu adalah kali terakhir dia akan bertemu Kongpob, padahal nyatanya, mereka kembali bertemu untuk makan malam di kafetaria dekat asrama.


-TBC

Innocent SaviourWhere stories live. Discover now