FF(68) ● Kepergian yang Diikhlaskan

4.2K 391 190
                                    

Maaf nih ketunda, seharusnya kemarin cuma ada kendala ... laptop mendadak eror :(

Huhu makasih udah ramein part kemarin. Huaaa terhura saya wkwk

Vote dan komen jangan lupa. Pengin liat antusiasnya lagi 🐎

°°°

SEHARUSNYA Linzy hanya perlu fokus pada ujian. Fokus belajar untuk menentukan nilai kenaikan. Lupakan segala hal yang mengganggu. Termasuk ucapan Zion kemarin di rumah sakit.

Sayangnya, melupakan sakit itu memang sesulit ini.

Dia telah melakukan berbagai cara. Salah satunya mencari pelampiasan dengan belajar bersama Lian sepulang sekolah. Sebenarnya cukup mempan. Namun, tiba saat malam. Ingatan itu kembali menusuk dan merusak seluruh jam tidurnya.

Linzy mendadak insomnia. Dia cuma bisa merenung saat dini hari dan menangis diam-diam. Bagai sembilu yang mengoyak. Ucapan Zion menimbulkan luka yang entah bagaimana caranya Linzy sembuhkan.

Menangis menjadi pelarian. Membiarkan air matanya terbuang selama berjam-jam. Lalu sisa dua jam, dia jatuh tertidur. Dia terbangun saat matahari menyelinap masuk dan menjatuhkan sinar tepat di wajah.

Pagi ini. Linzy menarik napas panjang, berusaha melupakan. Ini sudah satu hari berlalu dari kejadian di rumah sakit. Pengusiran kejam Zion secara tak langsung itu harus dimusnahkan.

Linzy tersenyum pada cermin dan membuat janji jika dia bisa menjalankan hidupnya seperti biasa.

Pukul enam lewat lima belas menit. Linzy memarkirkan mobil di parkiran sekolah. Hari ini Lian memang tidak datang menjemput. Alasannya karena dia harus mengantarkan pamannya subuh tadi.

Padahal hal itu tidak masalah buat Linzy. Namun, sejak kemarin, Lian terus saja mengucapkan kata maaf. Kadang cowoknya memang berlebihan seperti itu.

Linzy duduk di mejanya. Menatap kelasnya yang ramai. Anak cowok sibuk di pojok kelas. Sementara sebagian ada yang tengah belajar. Shena dan Retta pergi ke kantin. Sebelumnya mereka mengajaknya yang baru datang. Tapi dia memilih menolak.

Sejenak pikiran Linzy larut oleh kebisingan yang mereka ciptakan. Diam sambil menangkup pipi. Menjernihkan isi kepala yang terasa padat dan berat. Dia menatap kosong yang ada di hadapan. Sampai suara kursi yang digeser menyentak lamunannya.

Linzy mendongak. Melihat Lian yang kini duduk di kursi depannya—milik Zion. Awalnya Lian tersenyum lalu berubah khawatir saat meneliti wajah Linzy. Terutama mata sang pacar yang membengkak.

"Kamu kenapa?" Lian mengulurkan tangan.

Linzy refleks memundurkan kepala. "Aku gak apa-apa. Lagi kangen Papa aja." Dia tidak sepenuhnya berbohong. Akhir-akhir ini pikirannya bukan saja kacau karena Zion. Kerinduannya pada sang Papa juga membuat kepalanya tambah terbebani.

"Udah sarapan?"

Linzy mengangguk sebagai jawaban. Lalu memilih ganti topik.

"Gimana tadi Om Delon?" Itu nama paman Lian yang mengasuh cowok itu sejak kepergian mamanya. Apalagi Lian tidak punya siapa-siapa setelah meninggalkan rumah sang ayah.

"Om Delon udah berangkat sama anggota militer yang lain."

"Berat banget ya jadi tentara kayak Om kamu?" Delon itu adik dari mamanya Lian, bekerja di wajib militer angkatan udara. Lian selalu bilang jika dia bangga memiliki Delon. Walau kadang dia harus ditinggal seorang diri saat pamannya mendapatkan tugas.

"Ya itu udah tugasnya." Lian senyum sambil memainkan pipi Linzy. "Udah belajar?"

Linzy langsung cemberut. "Kenapa ngingetin itu mulu sih?!"

|2| Falsity ✓Where stories live. Discover now