PILIHAN PARA DEWA : DEBERN

13 4 0
                                    


"Gail, masuklah ke dalam, hari ini langit sedang murka." Gadis bermata biru dan ungu itu menatap saudaranya dan meraih tangannya untuk masuk ke dalam. "Gail, jika kau meletakkan belati itu di dekat rambutku, kau bisa saja memotong telinga atau nadiku." Katanya seraya meraih belati itu dan menempatkannya di dekat sebuah anglo yang menyala.

"Gail, kau adalah kebanggan kami." Ucap seorang pria bermata ungu.

"Kau adalah karunia kami." Ucap seorang wanita bermata biru.

"Kami menyayangimu Gail, selamanya." Ucap gadis itu kembali seraya menyentuh pipinya.

Ia ingin meraih mereka, namun anglo yang menyala itu meredup menyisakan remang baginya. Ia mulai menegang. Cawan hitam di meja itu mulai terisi. Dengan cairan merah pekat. Terus terisi hingga tumpah ke segala penjuru. Kemudian anglo kembali menyala.

Kepala pria bermata ungu itu tertidur di atas meja, cairan merah yang sama mengalir dari setiap lubang di wajahnya. Kepala wanita bermata biru itu tertunduk menghadap bumi, mengalirkan cairan merah dari retakan di pelipis kanannya. Sedangkan kepala gadis bermata ungu dan biru itu terkulai lemas dengan tangan kiri yang melepuh dan mengeluarkan cairan merah yang sama.

Di belakang mereka, berdiri dua orang pria bertubuh kekar nan ganas, satu mengenakan lencana petir, dan yang lainnya kepala hewan buas. Wanita dengan sorot mata tajam itupun tidak mungkin luput dari pandangannya, tentu dengan lencana ular yang menghiasi dadanya.

"Kau akan ternoda." Ucap wanita itu mendongak.

"Cawanmu telah penuh." Ucap pria berlencana hewan buas.

"Kau akan menjadi penguasa, bukan mangsa. Kau akan membunuh mereka semua." Ucap pria berlencana petir seraya menyentuh pipinya. Kini yang Gail rasakan hanya dirinya yang bermandikan cairan merah yang mengental.

Gail terbangun dari tidurnya. Menyibak selimut putih dari badanya dan melemparnya jauh. Takut jika ada ular berbisa di baliknya. Kemudian melihat kedua tangannya dan memasukkannya ke dalam mulut. Takut jika ada darah di sana. Tetapi semua baik-baik saja. Tidak ada ular ataupun darah di dekatnya. Hanya ada dirinya di kamar luas itu. Ia bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan sempoyongan menuju jendela timur dan membukanya. Sinar matahari memasuki kamarnya tanpa izin, dan deru ombak di bawahnya seakan mampu mengikuti matahari masuk menyerangnya.

"Mimpi itu lagi," keluhnya. Mengacak-acak rambut hitamnya dan memanggil angin untuk merapikannya kembali.

"Kau bisa memanggilku untuk merapikan rambut itu." Ucap seorang gadis di ambang pintu kamarnya, bersandar seraya melipat kedua tangganya di depan. Rambut ikalnya dikepang setengah, dengan warna merah bagai bara api. Dan matanya bagai caramel yang meleleh.

"Lisbeth, ketuklah pintu jika ingin memasuki kamarku." Keluh Gail.

"Aku tidak masuk. Aku masih berdiri di luar." Jawab Lisbeth melirik garis batas pintu kamar sahabatnya itu dan tersenyum, lalu mengetuk pintu. "Boleh aku masuk, Yang Mulia?"

"Ya, kau boleh. Asalkan kau berhenti memanggilku seperti itu." Gadis itupun terkekeh dan menghampirinya. Namun ia mendengus saat melihat selimut putih terlempar jauh dari kasur.

"Dengar, aku bukan pelayan yang setiap pagi harus merapikan selimut yang kau lempar." Ucapnya seraya berusaha merapikan selimut itu kembali ke tempatnya dan menata bantal-bantal agar terlihat lebih rapi. "Aku tidak memintamu, kau melakukannya sendiri," Gail tersenyum tipis dan mengacak-acak rambut Lisbeth melepaskan kepangan rapinya, rambutnya kini layaknya kobaran api yang mengamuk.

"Hentikan!" teriak Lisbeth dan memanggil hujan untuk keluar dan memerintahkan airnya untuk menyiram wajah Gail melalui Jendela. "Oh Lisbeth, kumohon jangan air," keluh Gail melihat dirinya yang basah kuyup. Bahkan karpet beledu merah di bawah mereka seakan menjadi lumpur yang lembut nan licin untuk mereka pijak. Tetapi mereka tertawa bahagia.

CROWN OF ATHRANNAWhere stories live. Discover now