PILIHAN PARA DEWA : RAST

7 0 0
                                    

Pria paruh baya itu berdiri di depan altar Para Dewa seraya menggenggam erat kalung bermata kecubung yang perlahan memancarkan warna lembayungnya. Tubuhnya bergetar hebat dan peluh membasahi jubah peraknya. Jubah itu terlihat sangat berat dengan ornamen-ornamen hitam di pinggirannya seakan memaksa tulang-tulang dibaliknya untuk tetap merunduk meronta, namun mulutnya terkatup rapat. Sebuah nama muncul di tengah permata itu.

"Demi Para Dewa Athranna, ini tidak mungkin terjadi." Ia memandangi nama itu dengan seksama dan menggigit bibirnya.

"Luca Fraust!" Teriak pria itu ke seluruh penjuru lorong kuil, membiarkan suaranya yang renta terbawa oleh angin dan menggema di bebatuan. "Kakek, ada apa?" nampak seorang pemuda berambut hitam dengan jubah perak yang sama berlari dari sudut lorong menuju altar. Wajah bingungnya tak dapat disembunyikan. Melihat kakeknya yang seorang pendeta berteriak adalah hal yang tidak biasanya terjadi. Bahkan para pendeta novis ikut berlarian menuju altar.

Sang pendeta berjalan pincang ke arahnya menggigil, kemudian menatap matanya lekat. Giginya terdengar saling bergesekan, kulitnya yang putih kini terlihat biru. Tubuhnya bahkan terasa sangat dingin, seakan ia baru saja keluar dari lautan dingin di Highcave, jika saja pemuda itu tidak mengingat bahwa kakeknya hanya menghabiskan sisa hidupnya memuja Para Dewa. "Lepaskan jubah itu sekarang, nak. Cepat cari gadis berdarah Rast itu dan bawa dia kemari. Dewa telah memilihnya." Mendengar kata-kata itu Luca segera melepas jubah dan menyerahkannya ke salah satu pendeta novis dibelakangnya. Ia langsung menembus angin dan berlari keluar kuil menuju Kastil Stellar.

"Aku tahu kau akan terpilih." Senyum pemuda itu seraya berlari kencang. Melewati perbuktikan dan memasuki pedesaan, namun kastil itu belum terlihat ujungnya. "Ah, ini akan lama." Keluhnya dan menaiki cabang sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi.

"Atas nama Para Dewa di langit Athranna, tumbuhlah dan bawa aku ke tempat ratumu." Bisik pemuda itu seraya menyentuh batang kulit pohon yang kasar. Pohon itu bergerak perlahan, tumbuh menjulang menembus pohon-pohon lainnya, hingga ia melihat sebuah kastil tua dengan tumbuhan merambat di setiap batu-batu dindingnya. Ia melompat turun dan menyeberangi air terjun Espallas.

Para pelayan yang melihatnya datang membungkukkan kepala tanpa ada perintah. Mereka ternganga akan besarnya pohon yang ia perintahkan untuk tumbuh. "Nona ada di ruang baca," salah satu pelayan itu akhirnya mengangkat kepalanya dan berbicara, namun tidak menatap mata pemuda itu. "Terimakasih, Lina." Ucap Luca kemudian berlari menaiki tangga menuju menara barat kastil.

Di ujung lorong menara, terlihat seorang gadis duduk sendiri memangku sebuah buku usang tebal seraya bergumam. Pipinya semerah mawar, rambutnya sehitam malam. Tergerai tak terikat, namun siapa saja yang akan melihatnya akan terpikat. Di ruangan yang luas itu, hanya buku yang menjadi temannya bermain dan bercerita, sedang gadis-gadis yang lain mengepang rambut dan bernyanyi jauh di pusat distrik Cellar. Melamparkan kelopak bunga kemudian menari di bawahnya. Namun ia tidak perduli. Ia telah tenggelam dalam imajinasinya sendiri.

"An, di sini kau rupanya." Sapa Luca dari belakang gadis itu. Rambut hitamnya berantakan tertiup angin dengan kulit yang tidak terlalu pucat. Sepatu yang ia gunakan berderit di atas lantai kayu yang menua. "Kau tidak tampak lelah, Luca." Sahut gadis itu, meskipun dengan jelas ia melihat dengan jelas lawan bicaranya tersengal-sengal.

"Aku akan menyusulmu ke istal. Jadi biarkan aku membaca satu atau dua lembar lagi." Ia kembali melihat buku dan mengacuhkan Luca. "Satu atau dua lembarmu adalah halaman terakhir buku itu," Keluhnya sembari merapikan rambutnya. Annya mendengus, namun kembali membaca. Ia tidak teralihkan oleh apapun, meski disaat hembusan angin menyibakkan rambutnya. "An, ada yang harus kusampaikan." Ucap Luca, namun Annya masih membaca. "Aku akan mendengarnya setelah nafasmu kembali dan beritahu aku kabar terbaru mengenai Gail." Tukasnya seraya menutup buku tebal itu dengan kasar dan mengambil buku lainnya untuk dibuka.

"Mengenai Gail, aku telah mencoba untuk datang ke Fior dan berbicara dengan salah satu pendeta novis di sana. Ia mengatakan Keluarga Debern tidak memberikan kita izin untuk melihatnya." Ucap Luca seraya bersandar di punggung temannya itu.

"Datang ke Fior? Itu tindakan konyol, Luca." Jawabnya seraya tersenyum, namun terasa pahit. "Ia sudah menjadi pewaris bagi para pengendali badai. Ia kini menjadi bagian dari keluarga Debern. Kita tidak akan diberikan izin untuk menemuinya, tidak sebelum Upacara Auth dimulai. Itupun jika ia masih mengingatku."

Annya meremas pinggiran buku itu, menyembunyikan kekesalannya, menyembunyikan kemarahannya. Ia ingin menangis, ingin berteriak, namun tidak akan ada yang berubah. Saudaranya telah direbut secara paksa saat Keluarga Debern bertandang ke Cellar membawa badai dan petir mereka. "Aku hanya ingin tahu kondisinya. Apakah dia baik-baik saja?"

"Ya. Dia baik-baik saja. Para Debern dan Pendeta Agung akan menjaganya." Jawab Luca. Dari balik punggung itu, Luca mampu merasakan getaran yang dialami Annya. "Kita akan menyelamatkan Gail, sebelum Auth dimulai. Sebelum Nucar dan Lynx bergerak." Ucapnya seolah memberikan harapan. Annya mengangguk dan tersenyum, kemudian meletakkan buku yang ia genggam itu diantara buku-buku usang lainnya. Ia berdiri dan berjalan mendekati jendela menara. Ia menerawang ke arah semak-semak yang jauh di sana. Menghirup udara dan melepaskannya.

"Seandainya aku bisa bertemu dengannya." Sarung tangan kulit yang dikenakan Annya kini bergesekan satu dengan yang lain. Matanya seakan mampu mengatakan dendam yang meluap dari sepuluh tahun yang lalu. "Ah, mungkin lebih baik kita ke istal segera, atau kau lebih memilih Ashton dan Frank menghancurkan pintu-pintu dan meringkik tanpa henti." Ucap Annya menyinggungkan senyuman tipis di sudut pipinya.

"Kita tidak perlu ke istal. Aku tidak membawa Frank, jadi kurasa Ashton masih tidur dengan tenang." Mendengar ucapan Luca, ia berbalik badan dan menatap temannya itu dengan heran. Luca tidak akan pernah pergi ke manapun tanpa kuda cokelat kesayangannya itu. Annya menyipitkan mata dan mendekat ke arah Luca, mungkin saja ia berbohong padanya. "Annya, dengar. Aku akui kau sebagai ahli dalam mengetahui seseorang berbohong atau tidak. Dan saat ini aku sedang tidak berbohong. Frank tidak bersamaku." Ucap Luca mendekatkan diri pada Annya.

"Apa yang terjadi?"

"Kakek memanggilmu ke kuil. Sekarang."

"Kuil? Tunggu, kakek yang kau maksudkan, apakah kakekmu sebagai Kakek Antonio biasa, atau sebagai Pendeta Antonio?" Tanya Annya memastikan.

"Pendeta Antonio." Jawab Luca singkat. Kemudian Annya terbelalak.

Ia sadar ada yang tidak beres saat ini. Antonio biasanya hanya memanggil Annya untuk makan malam di rumah sederhananya di desa, dengan pakaian kemeja putihnya. Namun kini ia memanggilnya sebagai Pendeta. Annya meremas tangannya kembali. Ia harus segera ke kuil, apapun yang terjadi. Ia mundur beberapa langkah hingga tubuhnya menyentuh jendela, menatap jauh hingga atap kuil kuno itu terlihat.

"Luca, Ashton tidak akan mengizinkan kita menungganginya bersamaan. Dan kuda lain sedang di bawa untuk berburu oleh para pelayan ke hutan." Ucap Annya seraya menempelkan jemarinya ke bibir, namun Luca hanya mengerutkan dahi tidak mengerti.

"Tumbuh, dan mekarlah." Gumam Annya seraya mengakat tanganya. Seketika, semak-semak itu bergoyang seolah marah. Sedikit demi sedikit tumbuh kuncup mawar yang menjulang ke atas, membentuk sebuah jalan pintas dari kastil ke kuil. Perlahan pula bunga-bunga itu bermekaran. Membiarkan angin membawa pergi beberapa kelopak dari mereka untuk dihantarkan ke tangan Annya. "Kurasa jalan inilah yang tercepat." Ucapnya dan melihat Luca tersenyum sembari menyaksikan lautan mawar berduri di bawah menara. Mereka melompat turun.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 08, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CROWN OF ATHRANNAWhere stories live. Discover now