Bagian 5

322 70 2
                                    


A/N : Waah.. coba kita lihat apa aku sempat untuk update lagi nanti. Kalau sampai 24 jam ke depan nggak ada kabar, ya berarti kita say bye-bye dulu ya..

****

Kongphob membalas celotehan anak gadis imut yang berada di pangkuannya dengan senyuman yang lebar. Rin langsung menghambur ke pelukannya begitu mata sipitnya tertumpu pada Kongphob yang baru masuk ke ruang keluarga. Dia tidak mau lepas bahkan setelah dua jam kemudian, tangan kecilnya terus menggenggam erat baju pamannya itu.

"No!" Rin menolak. Mulutnya terkatup rapat dan matanya melotot. Pipinya yang putih menggembung dengan hebatnya karena ia terlalu kesal pada Kongphob.

"Ayolah, Rin. Jangan makan coklat terus. Harus makan sayuran juga." Pinta Kongphob, berusaha membujuk.

"No, Om!" si kecil Rin memalingkan wajah dan berusaha menjauhkan kepalanya dari sendok yang disodorkan Kongphob. Tapi tetap saja, tangannya menggenggam baju pamannya.

"Kata favoritnya minggu ini, 'no'. Semangat ya Om Kongphob." Sebuah tawa datang dari samping. Senyum yang mengembang di wajah Kongphob terhenti sesaat sebelum dipaksa untuk kembali ke ukuran semula.

"Iya nih, Kak Ohm. Tapi kan Rin juga harus makan."

"Udah, Rin sama Ayah aja ya?" Kak Ohm yang kini sudah berdiri tepat di sampingnya melebarkan kedua tangannya, mengajak Rin untuk berpindah pangkuan.

"No!" sekali lagi Rin mengeluarkan kata ampuhnya. Ia memilih untuk membenamkan wajahnya ke pangkuan Kongphob.

"Habis ini main lagi. Om janji."

"Pegi?" sepasang mata muncul mengamati, mendongak berharap ke arah Kongphob.

"Nggak. Om tetap di sini bahkan sampai Rin tertidur dan bangun lagi. Janji."

"Oke!" seluruh wajah mungil akhirnya terlihat dan senyuman merekah di wajah itu.

"Ohh.. Ayah sedih karena digantiin sama Om!" seru Kak Ohm dramatis. Kongphob ingin memutar bola matanya, jengah. Tapi sebelum ia sempat melakukannya, si kecil Rin sudah menjawab, "Biar!"

Ah.. ada alasan mengapa ia sayang sekali dengan Rin.

----

"Bagaimana studimu, Kong?" Papa bertanya saat mereka duduk untuk minum teh di ruang jamuan. Rin sudah tertidur di pangkuannya. Maklum, sekarang sudah jam 8, sudah waktunya ia tertidur. Si kecil Rin juga terlalu bersemangat tadi siang, bermain dan bersenang-senang di pesta ulang tahunnya. Ia pasti sudah kelelahan.

"Kasih saja Rin ke Mbak Mew, sayang.." Mama datang membawa teh yang masih mengepul. Kongphob menggeleng.

"Jangan dulu. Baru juga dia tertidur. Sayang nanti kalau bangun waktu dikasih ke Mbak Mew sekarang." Ia menjawab. Ada senyuman yang sedikit dipaksa saat ia memalingkan wajah untuk menatap ayahnya. "Baik-baik saja, Pa. Ada senior yang mau membantuku belajar, jadi semuanya lebih mudah."

"Bagus itu." Papa mengangguk puas.

"Jangan lupa bilang terima kasih." Mama berkata sambil meletakkan cangkir teh untuknya dan duduk di sebelah. "Ini teh chamomile khusus buat kamu, sudah mama buatkan."

"Makasih ya Ma.." senyuman Kong berubah sedikit manja untuk ibunya. Mama menyubit pipinya bercanda.

"Cuma kamu yang minum teh ini. Mama harus beli dulu tadi."

"Iya.. Makasih, Ma." orang tuanya terbiasa untuk meminum teh hitam atau hijau, begitu pula kedua kakaknya. Hanya dia yang punya kebiasaan untuk meminum teh yang menenangkan itu.

"Kong, itu, kamera kamu Mama lihat masih di kamar. Nggak dibawa?" senyuman manja Kongphob hilang seketika. Ia menunduk agar orang tuanya tidak melihat raut kesedihannya.

"Nggak, Ma. Masih sibuk sama tugas kuliah." Jawabnya pelan.

"Ya memang harus begitu. Belajar lebih penting." Papa menyahut. Kongphob mengangguk lemas.

Diambilnya cangkir yang masih mengepul untuk mengalihkan pikiran dan didekatkannya ke mulut, namun tiba-tiba saja terdengar suara piring pecah. Seketika atmosfir di rumah berubah kelam.

Kongphob melihat ayahnya yang menghela napas pasrah dan ibunya yang menatap sendu ke arah kejauhan, tentunya pada sebuah pavilion yang dibangun berseberangan dengan rumah utama tempat mereka tinggal. Pavilion itu hanya terpisahkan oleh taman yang dirawat dengan tangan ibunya sendiri. Ia.. hanya bisa duduk diam mematung. Dipeluknya Rin lebih erat. Ada rasa lega karena si kecil tidak terbangun oleh suara nyaring tadi.

Ada suara barang pecah lagi. Lebih berat dan besar, Kongphob kira. Mungkin patung kristal kesayangan kakaknya. Kongphob menutup mata dan memilih menyeruput tehnya.

"Apa tidak bisa kita intervensi?" suara Papa menariknya pada keadaan saat ini.

"Jangan, Pa. Tahu sendiri mereka bagaimana." Mama membalas, berpindah duduk ke sebelah ayahnya untuk saling menggenggam tangan. "Mama sudah bicara sama Ohm. Kalau-kalau dia sudah tidak kuat lagi dengan Suda. Tapi.."

"Cinta kok seperti itu. Suda juga kenapa tidak mau dinasihati sih?!" nada marah mulai mencuat kembali di perkataan Papa.

Kongphob tahu tubuhnya gemetar. Gemetar karena takut atau marah, karena muak atau sedih, ia tidak tahu. Tapi ia ingin pergi dari keadaan ini. Diletakkannya lagi cangkir itu pada tatakannya dengan suara agak keras, dan segera ia meminta izin kembali ke kamar.

"Rin.."

"Biar dia tidur sama aku, Ma." Ujarnya setengah meminta. Kongphob tidak tega kalau Rin harus tiba-tiba terbangun karena kegaduhan kedua orang tuanya, lagi.

"Oke. Selamat malam, Nak."

"Selamat malam, Pa, Ma."

****

[BAHASA] Bukan Logika - FanfiksiWhere stories live. Discover now