17. Undangan Pesta

3.6K 149 7
                                    

BAGIAN I

Dinginnya angin malam langsung menerpa wajah dan lenganku yang terbuka begitu aku keluar dari mobil dan berdiri tepat di sisi Raka. Di depanku, hotel bintang lima tampak menjulang tinggi menembus kegelapan langit malam. Halaman depannya luas bagai taman surga berhiaskan deretan pohon cemara di sisi kanan dan kiri bangunan, air mancur tingkat tiga dan lampu-lampu hias nan cantik. Lampu gantung kristal mahal yang menerangi teras besar itu sudah cukup menjelaskan bahwa hotel itu memang berkelas.

"Apa ada masalah?" Raka bertanya ketika menyadari aku terus merapatkan diri pada badan mobil. Beruntung karena sopir kami tidak segera menjalankan mobilnya sehingga aku tidak terseret dan jatuh.

"Bukan karena takut jatuh, tapi aku lebih suka flat shoes," aku berucap ketus dengan sedikit mengangkat dagu demi menyembunyikan rasa takutku karena tidak terbiasa memakai sepatu heels. Aku hanya tidak mau terlihat lemah di matanya.

"Saya tahu," sahutnya santai.

"Kamu tahu?" ujarku sinis.

"Saya tidak pernah melihatmu memakai sepatu tinggi."

"Lalu kenapa kamu masih membelikan sepatu macam ini untukku, kamu sengaja mau mempersulitku, ya?" sindirku tak suka.

"Tidak juga. Kalau tidak begini, kamu tidak akan berdiri dekat dengan saya dan mengapit lengan saya. Sayangnya saya tidak bisa sering-sering membuat kamu cemburu seperti tadi." Aku tercekat, sedikit kikuk karena ternyata Raka menyadari apa yang kulakukan saat di salon. Ya, terserah saja. Bagaimana pun aku istrinya dan ... memangnya wanita mana yang bisa tahan melihat suaminya jadi bahan tatapan penuh pemujaan dari wanita lain?

Raka menoleh dan bertanya, "Boleh saya meminta bantuanmu?"

"Apa?" Aku berusaha terlihat biasa-biasa saja saat senyuman Raka melebar, mungkin karena melihat wajahku yang merah padam karena malu.

"Bisakah kita menjadi pasangan yang bahagia malam ini?"

Aku memicingkan mata ke arahnya. "Jadi selama ini kamu tidak bahagia?" Bukan karena penasaran, tapi lebih pada rasa ingin mencari tahu apa alasan Raka sampai meminta hal seperti itu. Entah kenapa emosiku melonjak naik, dia bicara seakan-akan dia tidak bahagia bersamaku. Mungkin aku ini hanya pembawa sial baginya.

"Bukan saya, tapi kamu yang tidak bahagia dengan saya." Untuk sesaat kami jadi saling menatap satu sama lain. Pernyataannya sangat mengejutkanku. Aku jadi teringat pada asumsi Raka waktu itu-aku membencinya-mungkin itulah yang mendasari pemikirannya saat ini. "Kita jalan sekarang?"

Aku hanya mengangguk dan menggumam pelan sebagai jawaban setuju.

Raka hanya berdiri diam dengan pandangan lurus ke depan dan tidak mengatakan apa-apa, sementara aku juga diam memperhatikannya. Aku tahu dia menungguku. Pada akhirnya, meski ragu aku pun mengapit lengannya, menjadikannya sebagai tumpuan agar aku tidak terjatuh. Tentu aku merasa tidak enak hati, kecewa alasan kami saling berdekatan bukan karena kami pasangan yang bahagia, tapi ... ya, sudahlah, toh, dia sendiri yang menginginkannya. Aku berdiri di sisi kiri Raka dan kami pun berjalan bersama memasuki Horizon Hotel, hotel bintang lima berlantai sepuluh yang tak lain milik keluarga Raka.

Sesekali Raka tersenyum dan mengangguk singkat demi menanggapi sapaan hangat para pegawainya yang tersebar di seluruh sudut bangunan.

Raka sengaja memperlambat langkah supaya aku bisa berjalan lebih hati-hati, membuatku malu sendiri karena telah menjadi pusat perhatian semua orang di sekitar kami. Dia bahkan melingkarkan tangan di pinggangku, menjagaku agar tetap aman ketika kami menaiki beberapa anak tangga. Yah, orang-orang pasti akan beranggapan kalau kami pasangan yang sangat romantis.

[1] Wedding Agreement With You(TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora