24. Di Kamar Raka

3.6K 166 14
                                    

BAGIAN I

Aku sudah berada di balkon lantai dua keesokan harinya, tepat saat jam menunjukkan pukul enam. Sengaja bangun lebih awal, apalagi kalau bukan demi menemani aktivitas pagi Raka. Dia benar-benar memaksakan diri ingin pergi ke kantor setelah aku berhasil mengurungnya agar beristirahat total di kamarku seharian kemarin. Katanya, ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda, entah apa.

Aku merapat pada tepian pagar pembatas, terbuat dari besi yang terasa berat dan tebal saat kugenggam, pasti dipesan dengan harga mahal. Desain yang sederhana justru memberi kesan megah tersendiri, apalagi warnanya yang hitam legam nan mengilap tampak sangat mencolok mengelilingi ruangan-ruangan di lantai dasar yang didominasi warna putih dan emas. Dari atas sini aku bisa melihat nyaris keseluruhan isi rumah.

Aku melangkah lebih dekat ke salah satu sisi saat mendengar ada kesibukan dari arah ruang makan. Ada Martha di sana, ditemani dua orang wanita lain yang tampak sedang menyiapkan sarapan. Mereka secara bergantian mondar-mandir dari dapur lalu kembali ke ruang makan dan menuangkan hidangan di piring saji.

Perhatianku terus tertuju pada Martha yang sejak tadi hanya berdiri di tepi meja. kupikir wanita itu sedang menata hidangan seperti yang lain, tapi setelah cukup lama diperhatikan, Martha tampak sedang memotong-motong sesuatu di ujung meja yang biasanya ditempati Raka.

Apa yang sedang dilakukannya?

Aku melangkah ke sisi barat supaya bisa melihat lebih jelas. Rupanya Martha sedang memotong ayam panggang yang baru saja dia tuangkan dari hot plate di atas piring saji. Ah, aku tahu. Jadi selama ini Martha yang memotongkan makanan untuk Raka.

"Saya kidal."

Saat mengingat alasannya waktu itu, aku jadi tidak bisa menahan senyum geli. Lucu saja, Raka sampai berkata begitu demi menutupi luka fisiknya. Aku benar-benar menyesal pernah merasa kesal dan menganggap aneh cara makan Raka selama ini.

Memikirkan Raka, membuat pandanganku mencari-cari keberadaan pria itu. Di mana dia? Perasaan kecewa mendadak muncul saat tak kudapati dia di sekitar ruang makan. Aku melirik ke arah jam dinding, rupanya sudah lima belas menit aku berdiri di sini. Mungkin Raka belum bangun. Ini memang masih cukup pagi untuk jam sarapannya.

Dia ... bangun jam berapa, ya?

Sungguh menyebalkan. Aku merasa bodoh, lebih tepatnya marah pada diriku sendiri. Aku ini istrinya, tapi tidak tahu apa-apa soal kebiasaannya.

Aku kemudian melangkah menyusuri tepian pagar pembatas dengan pandangan yang belum beralih dari keseluruhan lantai dasar. Hanya ruang makan yang terang benderang, sementara lampu gantung kristal berharga puluhan juta di ruangan lain mati semuanya, mungkin memang sengaja tidak dinyalakan. Hari sudah pagi, matahari pasti sudah mulai terik di luar sana, tapi sayang, cahayanya tidak mampu menyelinap masuk karena gorden tebal menutupi setiap jendela besar yang tersebar di sudut-sudut ruangan, membuat rumah ini jadi gelap, suasana yang sepi pun jadi semakin kentara.

Langkahku terhenti tepat di ujung atas tangga besar yang menghubungkan langsung dengan ruang tengah. Ukurannya besar dan melengkung seperti bulan sabit, warnanya pun senada seperti pegangannya, hitam nan mengilap bahkan keramik mediumnya juga menggunakan pilihan warna yang sama. Aku suka dengan desain rumah ini, putih dan emas yang mendominasi memberi kesan lembut namun mewah, meski begitu tetap menampilkan sisi elegan dengan warna hitam yang mencolok, entah pada dekorasi ruangan atau pun interiornya yang mahal.

Sebelum melanjutkan langkah, aku menyempatkan diri menoleh pada satu-satunya pintu yang masih menutup rapat tak jauh dari sisi tangga. Itu kamar Raka. Apakah dia belum bangun? Ya, biasanya aku memang hanya melihat Raka yang sudah rapi di meja makan saat jam tujuh pagi tiba. Tanpa pikir panjang aku langsung berjalan mendekati pintu kamarnya.

[1] Wedding Agreement With You(TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang