2. Saat Cinta Mencoba Mengetuk Pintu Hati

194 25 6
                                    

"Halo, sepupuku sayang!"

Sapaan berlagu dengan nada menjengkelkan itu mengusik kegiatan Rhaya yang sedang membersihkan kubis-kubis yang baru saja dipanen dari kebun. Tanpa menoleh ke asal suara tersebut, Rhaya tahu siapa yang datang.

Husamia dan Shanaya yang ikut membantu Rhaya membersihkan kubis-kubis di teras depan rumah, tersenyum pada sepupu lelaki mereka, yang kini berjongkok di dekat Rhaya dan pura-pura tertarik dengan kegiatan yang mereka lakukan.

"Tanggapanmu kenapa dingin sekali? Seharusnya kau menyambutku dengan hangat seperti biasanya," ujar Namari sembari menopang kedua dagunya dengan tangan.

"Tidak lihat aku sedang bekerja?" Rhaya mendengkus sambil mengupas daun-daun bagian luar.

"Kau, kan, memang selalu bekerja setiap hari," Namari mencemooh. "Kita ini jarang bertemu, harusnya kau beri sedikit perhatian pada sepupumu yang sebentar lagi akan menikah."

Rhaya berhenti membersihkan kubis dan balik menatap pemuda itu dengan mata membulat. Namari seusia dengannya dan memiliki masalah yang mirip dengannya, lamarannya sering ditolak pihak wanita.

"Gadis mana yang mau menikah denganmu?" tanyanya takjub, sekaligus membuat senyum bangga di wajah Namari sirna.

"Gadis manis yang suka tersenyum dan tidak seketus dirimu," jawabnya dongkol.

"Itu kabar gembira, Kakak Sepupu!" komentar Husamia, gadis manis bergaun merah bata dan mengenakan celemek putih di pinggangnya. Sama seperti Rhaya, rambut hitamnya yang panjang dikepang satu dan dihiasi pita kain.

Ekspresi Namari kembali berubah senang. "Kemarin lamaranku diterima." Dia melemparkan cengiran iseng ke arah Rhaya yang memutar mata menanggapi kebahagiannya.

"Gadis mana yang tidak beruntung itu?" tanya Rhaya pedas, sekali lagi membuat Namari cemberut.

"Gadis itu akan menjadi gadis paling beruntung di dunia," gerutunya. "Karena aku akan memperlakukannya seperti seorang Ratu."

"Memang kau bisa memberinya sekarung emas dan perak?" cibir Rhaya.

"Tidak. Tapi aku akan memberinya segudang cintaku," jawab Namari dengan dramatisasi yang penuh penghayatan, hingga membuat Husamia dan Shanaya terkikik.

"Kau terlalu banyak menonton pertunjukan sandiwara di kota!" Rhaya tertawa kecil mendengar balasannya.

"Memang kau sudah tahu pertunjukan sandiwara seperti apa?" Namari meleletkan lidah.

Rhaya kembali mengejeknya, "Dan apa yang kau tahu dari menanam sayur?"

Dengan tubuh kecil, tangan halus, dan penampilan yang selalu rapi serta wangi, Namari lebih mirip pelajar dari pada pedagang atau pun petani. Bukan berarti seorang pedagang musti berpenampilan lusuh atau petani penuh peluh, tetapi perawakan Namari terlalu halus, sehingga dia lebih mirip tuan muda yang tidak pernah mendapat susah.

"Tapi aku bisa berdagang!" kilah Namari. "Dan yang menyalurkan barang-barang kalian juga kami."

"Ya, ya, ya... dasar pedagang muda. Aku tidak akan bisa menang melawan lidahmu," ujar Rhaya sembari memasukkan kubis-kubis ke keranjang bambu.

Namari menyeringai melihat sepupunya mengalah dalam perdebatan kali ini. Namun, yang paling membuat perasaan lega adalah ekspresi Rhaya sedikit lebih baik dari pada sebelumnya. Ada keceriaan dan senyum yang menyenangkan untuk dilihat.

"Jadi, kapan pernikahanmu dilangsungkan?" tanya Rhaya.

"Belum tahu," Namari mengedik. "Keluarga kami masih membicarakannya."

"Oh," Rhaya ber-oh datar.

"Beberapa hari lagi, aku dan Ayah akan pergi ke Unamaris. Siapkan sayur-sayurnya seperti biasa, ya," imbuh Namari. "Kau mau titip sesuatu, Rha? Kain, benang, jarum atau lainnya? Aku juga mau membeli beberapa kebutuhan untuk pernikahanku nanti."

Blooming SoulWhere stories live. Discover now