3. Ilusi Dalam Keheningan

170 23 0
                                    

Nuksha tumbuh di tempat-tempat teduh yang sejuk. Untuk merawatnya, cukup ditanam pada pot-pot kecil dan taruh di bawah pohon-pohon yang rindang. Nuksha tak membutuhkan banyak air. Setiap siang, paling hanya disiram sedikit di bagian akar-akarnya. Bunga itu tidak membutuhkan banyak air, sehigga apabila terlalu banyak terkena air, bunga itu justru akan mati membusuk. Dibutuhkan ketelatenan dalam merawat nuksha, karena bunga itu gampang-gampang susah untuk diurus.

Maka dari itu, walau bunga itu memiliki khasiat penyembuhan untuk beberapa penyakit serius dan memiliki harga yang bagus di pasaran—terutama bila dalam kondisi kering, orang-orang malas menanamnya karena perawatannya yang lebih sulit dari tanaman sayur atau padi-padian.

Merawat nuksha seperti merawat bayi berumur enam bulan, yang butuh banyak kesabaran dan ketelatenan. Selain itu, yang dibutuhkan sebagai obat hanya bunga yang sudah tua. Semakin tua Nuksha, semakin menonjol pula bintik-bintik merah muda pada mahkotanya. Setelah dipetik, biasanya bunga akan dikeringkan sebelum dicampur dengan tanaman obat lain.

Seperti pesan Haris di hari sebelumnya, Rhaya datang setelah matahari beranjak naik. Ia tidak datang sendiri, melainkan bersama Viskan, adiknya lelakinya. Kabut sudah sangat tipis ketika Rhaya bertamu ke rumah Haris. Ia merasa sedikit tidak nyaman ketika berdiri di teras rumah Haris, karena perhatian orang-orang yang lewat di jalan. Memang bukan hal biasa bila dia bertamu ke rumah Haris dan dipandang aneh pula, seorang gadis lajang pergi ke rumah bujang. Untung Viskan bersamanya, sehingga omongan yang tidak perlu bisa sedikit dihindari. Tapi gunjingan orang, siapa yang tahu?

Setelah Haris membukakan pintu pagar, mereka pergi ke halaman belakang rumah. Rhaya mengamati bunga-bunga yang bermekaran di atas pot-pot tanah liat. Wadah-wadah itu berjajar rapi di atas dipan bambu. Saat menemukan bunga yang sudah tua, dipetiknya bunga itu dan ditaruh pada mangkuk kayu yang dia bawa.

Ada sekitar enam dipan di halaman belakang rumah Haris. Empat digunakan untuk alas pot-pot nuksha, dua lainnya dipakai untuk tempat duduk. Masing-masing dipan yang dipakai untuk alas nuksha diletakkan melingkari satu pohon peneduh yang rimbun.

Ketiganya masing-masing sibuk mengamati bunga-bunga yang mekar. Mereka bergeser perlahan-lahan memutari pohon. Karena terlalu serius melihat bunga, Rhaya sampai tidak sadar kalau dirinya sudah berada di dekat Haris. Tahu-tahu saat bergeser, dia malah menabraknya.

"Ma...Maaf," Rhaya buru-buru minta maaf padanya.

"Tidak apa," Haris hanya tersenyum. Dia lalu kembali mengamati Nuksha di depannya.

Karena merasa tidak nyaman, Rhaya memilih menjauhi Haris dan mencari Nuksha di dipan yang lain.

Viskan mendengkus gelis melihat tingkah kakaknya. Keinginannya untuk menggoda kakaknya tertahan, ketika Rhaya meliriknya tajam. Pemuda itu mengatupkan bibir rapat-rapat sembari melanjutkan pekerjaannya. Setelah matahari menginjak semakin tinggi di langit, barulah mereka berhenti mengumpulkan nuksha-nuksha itu.

"Sepertinya ini sudah cukup," ujar Rhaya saat mangkuknya sudah penuh dengan bunga nuksha. Ia menoleh ke arah Haris dan mendapati mangkuk lelaki itu juga penuh.

"Aku tidak mendapat terlalu banyak," Viskan menggaruk-garuk pipinya yang tidak gatal. Mangkuknya hanya terisi separuh. "Sebentar lagi lah, Kak. Biar aku bisa mencarinya lagi."

"Kau hanya mengulur waktu karena malas ke hutan," cibir Rhaya.

Pipi Viskan memerah. Pemuda berambut ikal pendek itu menggeleng tegas. "Nanti habis mencari nuksha juga kita akan ke sana," elaknya.

"Sore kita sudah harus pulang. Kalau kau mengulur waktu di sini sampai matahari di atas kepala, kita tidak akan punya cukup waktu untuk mencari anolai. Apa kau mau berkeliaran di hutan sampai malam?" ia menyebar Nuksha ke tempayan yang sudah disiapkan di atas dipan yang kosong.

Blooming SoulWhere stories live. Discover now