10. Jika Ego Menyakiti Rasa

119 19 18
                                    

Viskan berusaha menyamai kecepatan langkah kaki Rhaya yang diluar dugaan. Biasanya kakak perempuannya berjalan lebih lambat, tapi saat ini cara jalannya mirip seperti setengah berlari. Pasti penyebabnya perbincangan anatara dia dengan Haris tadi. Viskan sempat melihat kakaknya mendorong Haris dan menamparnya.

"Kenapa Kakak menampar Kak Haris?" tanya pemuda itu takut-takut. Ekspresi wajah Rhaya seperti orang yang ingin menelan sesuatu bulat-bulat.

"Kau tidak perlu tahu," jawab gadis itu ketus.

Tapi Viskan tidak pantang menyerah untuk menggali masalah apa yang baru saja terjadi. Sayangnya, Rhaya kekeh untuk diam, hingga membuat Viskan menyerah untuk menanyainya lebih banyak dan membuntuti sang kakak dalam diam. Sesampainya di rumah, keadaan tidak lebih baik. Priam sudah pulang lebih dulu bersama Shaila, Husamia, dan Shanaya. Pria itu menunggu mereka di teras dengan air muka garang.

"Dari mana saja kalian?" tegur Priam sambil mengikuti kedua anaknya memasuki rumah.

Rhaya tak menjawab. Dia malah melewati sang ayah, kemudian membuka sepatu di depan pintu dan langsung masuk ke rumah begitu saja. Melihat kelancangan anak sulungnya, perhatian Priam pun beralih pada Viskan yang ada di belakang.

"Dari mana saja kalian?!" Priam mengulang pertanyaannya dengan nada lebih tinggi. Dia menatap Viskan yang tertunduk di hadapannya.

"Ka...Kami baru saja dari kebun, Yah," jawabnya takut-takut.

"Kebun siapa?"

"Kak Haris."

Priam memejamkan mata rapat-rapat, berusaha menahan kekesalannya. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya pelan. "Apa yang dibicarakan Kakakmu dengan Haris?"

"Aku tidak tahu, Yah," jawabnya jujur. "Kakak dan Kak Haris menjauh saat sedang bicara."

"Apa kau tak lihat tanda-tanda aneh saat mereka bercakap-cakap?"

Viskan menggeleng. Dia terpaksa berdusta untuk melindungi kakaknya. Kalau Ayahnya tahu kakaknya menampar Haris, Ayah mereka pasti akan murka. "Mereka hanya mengobrol biasa."

"Kalau memang mereka hanya membicarakan hal tidak penting, ekspresi Kakakmu tidak akan seperti orang yang disuruh menelan kotoran," komentar Priam. Kemudian, dia masuk ke rumah dan mengetuk kamar putrinya yang tertutup.

"Rhaya, Ayah ingin bicara!"

Tak butuh waktu lama hingga pintu kamar Rhaya terbuka. Gadis itu masih terlihat cemberut dan kesal, tetapi tidak bicara apa-apa pada ayahnya yang berdiri di ambang pintu.

"Ayah sudah bicara dengan Pamanmu tadi. Besok, Ayah akan menerima lamaran Haris," ucapnya.

"Kenapa buru-buru sekali?" Rhaya mengerutkan dahi tidak suka. "Apa tidak bisa diundur?"

"Sebentar lagi umurmu dua puluh tahun! Ayah rasa, lebih cepat menikah lebih baik untukmu," jawab Priam.

"Ini tidak adil! Beri aku waktu untuk memikirkannya!" timpal Rhaya.

"Ayah sudah memberimu waktu semalaman! Apa itu tidak cukup?" Priam memandangnya tajam. "Dan lagi, apa yang kau lakukan di luar tadi di kebun Haris? Sedang menolaknya secara pribadi sebelum Ayah bicara? Kau mau mencoreng muka Ayah?"

"Ayah!" Rhaya mengetatkan rahang.

"Ayah tidak akan menoleransi sikapmu lagi. Besok Ayah akan menjawab lamaran Haris. Karena itu persiapkan dirimu untuk pernikahan," Priam beranjak meninggalkan Rhaya.

"Setidaknya beri aku waktu empat hari untuk memikirkannya kembali!" jeritnya marah.

***

Pertengkaran Rhaya dan Priam berlanjut hingga malam. Rhaya sama sekali tak mau keluar kamar. Dia mengurung diri di kamar, setelah Priam mengutarakan akan menerima lamaran Haris esok nanti. Shaila mengetuk pintu kamar putrinya berulang-kali, tetapi Rhaya tak menjawab. Anak-anaknya yang lain diam sambil memandang ibu mereka yang berusaha membujuk sang kakak untuk keluar kamar.

Blooming SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang