11. Nua Yang Akan Memberikan Restu

77 16 0
                                    

Ketika langit berubah gelap, Viskan dan Namari hanya bisa mengandalkan penerangan dari lentera yang mereka bawa dari rumah. Bulan sabit menggantung di langit didampingi sebarang bintang yang berkelap-kelip, tetapi cahayanya tak sampai untuk menerangi sekitar mereka dengan baik.

Viskan dan Namari menyusuri hutan sambil memperkirakan tempat yang akan dikunjungi Rhaya. Beruntung kabut belum turun, meski udara mulai dingin menggigit. Sampai akhirnya kedua orang itu menemukan Rhaya pingsan di dekat danau, dengan satu tangan tercelup ke air danau sementara tangan lain menggenggam belati. Tak pelak, Viskan dan Namari kelimpungan melihat keadaan Rhaya yang sekarat. Wajahnya pucat dan bibirnya memutih. Tubuhnya menggigil sedangkan suhu tubuhnya panas.

Viskan membopong sang kakak dan pulang ke rumah dengan terburu-buru. Beberapa kali dia hampir terpeleset karena tidak hati-hati saat menuruni jalan yang melandai. Wajahnya sepucat Rhaya dan rasa takut benar-benar menguasai hatinya. Badan kakaknya panas sekali seperti bara api. Jika tidak cepat ditangani, bisa membahayakan jiwa kakaknya sendiri!

Sesampainya di rumah, keduanya terkejut melihat para tetangga sudah berkumpul di teras bersama Priam dan Douman. Haris terlihat di antara orang-orang itu.

"Viskan! Namari!" air muka Priam terlihat lega ketika puteranya berhasil menemukan Rhaya. Dia setengah berlari saat menyongsong kedatangan anak lelakinya.

"Ayah, tolong bawa Kakak ke kamar," Viskan menyerahkan Rhaya pada Priam.

"Ya Dewa!" Priam setengah berseru ketika merasakan panas tubuh anaknya.

"Aku akan segera memanggil Iksook Inarha!" lanjut Viskan, kemudian cepat-cepat pergi menuju ke rumah Inarha.

Namari memilih menyusul Viskan ke rumah Iksook Inarha. Sementara itu, Priam membawa putrinya masuk ke rumah. Orang-orang yang berkerumun di teras, segera memberi jalan baginya untuk lewat. Begitu Priam sudah masuk, mereka berdesakan ingin tahu apa yang sedang terjadi.

Sayang, Douman menghalau orang-orang supaya tetap berada di teras. Sambil tersenyum, pria tua itu berterima kasih atas kedatangan para tetangga dan memintaa maaf karena sudah merepotkan mereka semua. Dia pun meminta para tetangga untuk kembali ke rumah masing-masing, sehingga kerumunan itu pun membubarkan diri dan mereka kembali ke rumah dengan membawa rasa penasaran.

"Paman," Haris yang memilih tinggal saat orang-orang berbalik pergi, beranjak mendekati Douman. "Biarkan aku masuk untuk melihat keadaan Rhaya," pintanya.

Douman agak ragu, tetapi akhirnya dia mengijinkan lelaki itu masuk. Di ruang dalam, keadaan sama rusuhnya seperti keadaan di luar. Husamia dan Shanaya keluar dari kamar Rhaya dan tergesa-gesa pergi ke dapur, disusul Priam yang keluar kamar dengan murung. Dia lalu menutup pintu kamar, membiarkan Shaila mengurus putrinya di dalam. Kesedihannya terpampang jelas di wajahnya saat bertemu pandang dengan Haris.

"Apa yang terjadi dengan Rhaya, Paman?" tanyanya khawatir.

"Dia demam tinggi, tidak sadarkan diri," Priam menjawab kalem. "Kita hanya bisa menunggu Iksook Inarha untuk tahu, sebenarnya apa yang sedang diderita anak itu. Kau tidak pulang?"

"Aku akan menunggu di sini, Paman," jawab Haris.

Priam terlihat sedikit ragu, tapi dia memilih diam. Pria itu kemudian keluar untuk berbicara dengan kakak laki-lakinya.

Rasanya agak canggung menunggu Rhaya yang sedang sakit di rumah yang terasa asing. Haris menjadi tidak nyaman dan sempat berpikir untuk keluar. Namun, apabila dia keluar, apa yang bisa dia bantu? Haris menatap ruang tengah yang sepi. Suara kelontang terdengar dari arah dapur diikuti gerutuan Husamia. Lelaki itu memutuskan untuk melihat apa yang sedang dilakukan kedua adik Rhaya. Di dapur, keduanya sedang mengambil sesuatu dari dalam kendi tanah yang ada di atas meja dapur.

Blooming SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang