4. Dia Yang Terpikat Oleh Ilusi

148 22 0
                                    

Setelah membereskan ruang tengah, yang dipakai untuk tempat makan, Rhaya masuk ke kamar. Sebagai yang tertua, ia punya sedikit keistimewaan dengan mendapat kamar tidur sendiri. Kamar Rhaya lebih luas dari kamar ketiga adiknya. Permadani berwarna merah dengan tenunan berwarna-warni terhampar di atas lantainya. Ada beberapa macam perabotan seperti lemari pakaian, meja kecil, dan juga meja rias. Di dekat salah satu kaki tempat tidur terdapat satu keranjang berisi alat-alat untuk menyulam serta menjahit.

Bila tidak sedang sibuk, ia senang menghabiskan waktu untuk membuat pakaian baru atau mempercantik gaun-gaun lamanya. Bermacam manik-manik buatan tangan tergantung memanjang di dinding kayu, sehingga membuat kamarnya terkesan lebih semarak dan juga indah dipandang.

Gadis itu mengurai kepangan rambut, lalu melepas mantel panjang tanpa lengannya dan mengenakan gaun tidur yang lebih tipis. Setelah itu, Rhaya merebahkan diri di tempat tidur sambil memikirkan pernyataan ayahnya tadi.

Kenapa Haris mendadak tertarik padanya?

Bertahun-tahun mereka bertetangga dan tinggal berdekatan, tak pernah sekalipun Haris terlihat menaruh minat padanya. Mengapa sekarang dia jadi ingin tahu tentang dirinya?

Rhaya memejamkan mata membayangkan kembali cerita Priam tentang Haris. Bukan hanya sanjungan, sepanjang menceritakan percakapan mereka berdua, ayahnya terus saja menonjolkan Haris, bagaimana dia bersikap, berbicara, bahkan caranya bekerja keras. Haris bukan tipikal penggosip dan orang yang suka mengumbar kata-kata. Dia lelaki yang santun, ramah, dan sopan. Penduduk desa mengenalnya sebagai pria yang baik dan bijak, meski kebaikannya kadang tak membawa keberuntungan.

Terus terang, Rhaya sampai bosan mendengar pujian Ayahnya untuk Haris. Ibarat makanan, dia seperti sedang disodorkan sepiring makanan yang tidak dia suka dan ayahnya sedang memuji-muji makanan itu dengan harapan dia akan tertarik untuk memakannya.

Mungkin saja Ayahnya sudah amat putus asa untuk menikahkannya. Lagipula, bisa jadi Haris banyak bertanya dan menaruh perhatian karena hanya ingin tahu.

Keluarga Haris lebih kaya dan cukup terpandang di desa. Rasanya tidak pantas jika dirinya, yang berasal dari keluarga sederhana, bersanding dengan Haris, kalau memang benar lelaki itu menyukainya. Apa yang bisa ditawarkan dirinya pada keluarga Haris? Memang pengantin laki-laki yang memberikan mahar, tetapi selalu ada harapan lain selain cinta dan keturunan untuk pernikahan seperti ini, status sosial misalnya.

Rhaya membuka mata, lalu berbalik dan membenamkan wajahnya pada bantal, teringat bahwa sebentar lagi akan ada panen besar di desa. Selain Haris, dia juga harus memikirkan tetangga-tetangganya, karena itu berarti dia punya banyak waktu untuk mendengar gunjingan atau nasehat dari tetangga-tetangganya.

Demi Onjuk, selama ini Rhaya selalu menghindari tetangga-tetangganya agar tidak mendengar gunjingan mereka. Tapi, ternyata ia tetap harus menghadapi mereka secara langsung. Rhaya mengerang pelan, semoga saja mereka tidak bersikap menyebalkan. Dia lelah jika terus-menerus ditanya perihal pernikahan. Kadang-kadang hatinya panas dan jengkel, bila mendengar pertanyaan yang sama tetapi diulang oleh orang yang berbeda. Rasanya dia ingin kabur ke kota bersama Namari dan meninggalkan tugasnya di sini.

***

Haris duduk bersila di teras rumah. Pandangannya tertuju pada langit yang diterangi setengah purnama. Sudah agak lama dia diam di sana setelah makan malam, hingga kedua adik lelakinya, Ukudha dan Hisam, menyusul ke depan. Mereka sedikit heran dengan sikap kakaknya yang tidak biasanya.

"Tumben Kakak melamun di luar," Hisam, si anak bungsu, duduk di sisi kanan Haris. Rambutnya lebih panjang dari kakak sulungnya dan dia memiliki hidung yang lebih mancung dibanding Haris. Anak ini baru berumur sepuluh tahun.

Blooming SoulWhere stories live. Discover now