C

222 27 3
                                    

Duduk di sofa dengan pakaian biasa—kaos oblong lengan panjang berwarna hitam dan celana olahraga—memandangi rintik-rintik air yang mengalir di jendela diiringi pepohonan ikut membelai kaca sebab terbawa angin. Ia hanya ditemani oleh sunyi dan satu cangkir caramel macchiato panas. Tak berencana ingin meneguk minuman tersebut dengan cepat dan memilih untuk menunggunya hangat seraya menunggu seseorang menekan nomor kunci dan memasuki apartemennya.

.

.
"Caramel Macchiato"

Kaizo x Reader

Boboiboy

Writer: Wizardcookie

.

.

Bukan seorang yang menyukai tontonan televisi, membuat Kaizo betah duduk di sofa dan membunuh waktu dengan membaca buku sejarah. Di hadapannya, secangkir caramel macchiato masih terisi penuh dan belum diseruput sedikitpun. Meski tampak tenang, hati merasa cemas sebab ia mulai khawatir akan ketidakdatangan seseorang. Melirik pada jam dinding, menunjukkan pukul dua siang namun karena suasana di luar seperti menunjukkan pukul delapan malam.

Meletakkan buku yang terbuka di atas meja, putuskan untuk mengambil ponsel dan menghubungi orang tersebut. Selain ponsel, jaket yang digantung di lengan dan kunci mobil di sela-sela jari sudah siap. Rasa kesal pun ikut menyatu sebab panggilan pertama tak terhubung oleh penerima telpon.

Terdengar suara pintu apartemen yang terbuka, membuat langkah kakinya bergerak menuju asal suara. Gadis yang berdiri di hadapannya tampak tidak basah, namun terlihat menggigil disertai wajah yang pucat.

Tanpa mengucap kata-kata, lelaki beriris delima itu membawa si gadis ke dalam dekapan diiringi mengelus mahkota milik gadis tersebut. Tadi ia ingin meluapkan amarah sebab panggilan yang ditujukan pada si gadis tak dijawab, namun amarah tersebut terganti dengan rasa lega sekaligus khawatir melihat keadaan gadis yang berada di dekapannya.

"Kaizo..."

Si gadis menyebut nama Kaizo dengan lirih, dibalas dengan gumaman singkat. Pemilik mahkota [Hair Color] itu melepas pelukannya, mendongakkan kepala dan menatap lawan bicaranya dengan tatapan nanar.

"Maaf, kita harus berpisah."

Kalimat tersebut beriringan dengan guntur dan petir yang bergemuruh, membuat kedua manik Kaizo membola. Kata-kata itu seharusnya tak terdengar oleh telinganya, tapi kenapa mereka masuk tanpa izin dan membuat hatinya mendadak perih?

"Tak apa, jika itu memang yang terbaik untukmu."

Dadanya terasa sesak ketika mengucap kata. Kata 'berpisah' yang dilontarkan terlalu tiba-tiba, ia belum siap untuk menerimanya.

Tangannya menutup pintu apartemen dan menarik si gadis masuk ke dalam. Ketika berpegangan saja, rasanya hambar. Cepat-cepat Kaizo menarik tangannya dan mengarahkan gadis tersebut untuk duduk di sofa—yang dibalas dengan anggukkan.

Si gadis menduduki sofa hitam berbahan bludru, sejenak merasakan hawa dingin yang menggelitik kulit. Di musim hujan seperti ini, apa ia lupa menghidupkan penghangat ruangan? Gadis itu bertanya dalam benak ketika melihat lelaki bermahkota ungu tua tersebut memunggunginya. Memang, Kaizo adalah lelaki yang kuat. Namun sekuat apapun, apa ia tak merasa kedinginan seperti sekarang?

Maniknya beralih pada cangkir kopi yang tampaknya mulai mendingin. Bahkan, secangkir kopi yang dibiarkan di ruangan ini menjadi dingin dan tidak enak untuk diminum lagi. Kedua tangan meraih cangkir hitam dan hendak meminumnya, namun pergerakkan tersebut langsung dihentikan oleh Kaizo dengan menarik tangan si gadis dan mengambil cangkir tersebut.

"Akan kubuatkan yang baru, ini sudah dingin."

"Tak masalah,." Gadis itu berucap diiringi dengan gelengan pelan. "Aku tidak mau menunggunya dingin lagi."

Kaizo mendengus. Ia memberikan cangkir tersebut pada gadis yang kini berstatus sebagai mantannya. Setelahnya ia duduk di seberang sofa dan berhadapan dengan gadis tersebut.

Beberapa menit yang lalu, si gadis memutuskan untuk berpisah dan di detik ini mereka duduk di sofa—terpisah. Namun masih berada di dalam jarak yang cukup dekat. Ia sudah memutuskan dengan baik sehingga tak ada sedikitpun rasa penyesalan di dalam benak.

Perlahan ia menyesap kopi tersebut dan merasakan rasa pahit pada indera pengecap, membuatnya sedikit menjauhkan cangkir. Sejenak ia lupa bahwa mantan kekasihnya menyukai kopi pahit seperti ini.

"Caramel Macchiato?" ia bertanya, yang dijawab anggukkan oleh Kaizo. "Pahit."

"Iya."

Cangkir tersebut diletakkan di atas meja, lalu merasakan rasa pahit pada lidah yang tak kunjung menghilang, sama seperti meminum kopi pahit tanpa gula dan juga—

"Setidaknya, aku bisa melupakan hal-hal manis yang pernah kita lalui." Kaizo berucap diiringi senyuman tipis. "Atau, melupakanmu."

***

First Collaboration: Alphabetजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें