Babak 4 - Sebuah Permulaan

15 0 0
                                    

Just can't help but talk about (her) in every conversation
Till your friends are sick and tired of that same old crap

(I Think I'm in Love – Mocca)

Juna masih tak percaya dirinya berada di sebuah rumah bak istana. Ia setengah mematung di depan pintu ganda putih berukir yang tingginya mencapai tiga meter. Andai saja Saila tidak memanggil namanya sembari menggoyang-goyangkan lengannya, mungkin ia tak akan berhenti bengong.

"Ini rumahmu?" tanyanya masih setengah linglung, tak menyangka ada rumah seindah itu. Ah, Juna memang tahu ada rumah seindah ini, hanya saja tak pernah berpikir bahwa akan memiliki seorang teman yang tinggal di rumah macam ini.

"Ini rumah orangtuaku, Kak," jawab Saila merendah. "Ayo masuk, kukenalin sama Papa dan Mama." Saila menarik tubuh Juna, yang bak robot mengikuti gadis itu.

Sembari melangkah Juna mencoba mengingat mengapa dirinya berakhir di rumah Saila. Ia merunutkan setiap detail kejadian. Mulai dari perjalanan menjemput adik-adiknya bersama Gauri. Seperti biasa Juna mengemudikan mobil sementara empunya asyik bermain gawai di kursi penumpang. Sesekali mereka mengobrol tentang kuliah hari ini juga hal lainnya. Lagu Sheila On 7 mengalun dari speaker mobil, bercerita tentang seorang pria yang terpaksa merelakan wanita yang dicintainya menikah dengan orang lain. Juna melajukan mobil dengan santai karena masih banyak waktu sebelum jam pulang adik-adiknya.

"Jun, berhenti!" seruan Gauri membuat Juna menepikan mobil dan berhenti.

"Kenapa, sih, Ga?" tanya Juna.

"Lihat!"

Juna mengikuti arah yang ditunjuk Gauri, menemukan Saila berdiri di sisi sedan putih, dari gestur tubuhnya gadis itu terlihat panik. Juna segera mematikan mesin mobil, lalu mengikuti Gauri yang sudah turun dari mobil untuk menghampiri Saila.

"Rumah sakit."

Juna mendengar dua kata itu disebut ketika sampai di sisi Gauri.

"Kita perlu mengantar sopir Saila ke rumah sakit," ujar Gauri padanya.

"Pindahkan dulu sopirnya ke belakang," sambut Juna tanpa bertanya lebih banyak. Dengan cepat mereka bertiga memindahkan Pak Jainal ke kursi belakang, kemudian Juna langsung menyelipkan diri di kursi pengemudi. "Ga, aku antar Pak Jainal dan Saila ke rumah sakit, kau jemput anak-anak, bisa?"

Gauri mengangguk. "Bisa."

"Thanks, Ga," ucap Juna yang disambut senyum maklum oleh Gauri. "O ya, anak-anak─"

"Aku tahu apa yang harus dilakukan," potong Gauri sebelum Juna selesai bicara.

"Ini kuncinya." Juna menyerahkan kunci pada Gauri. "Aku pergi dulu."

Sepanjang obrolan Juna dan Gauri, Saila sama sekali tidak meninterupsi, perhatiannya tertuju penuh pada Pak Jainal.

Juna membawa mobil melaju, meninggalkan Gauri di belakang. Dengan luwes Juna berhasil melewati jalan yang sore itu lumayan padat dan mencapai rumah sakit terdekat. Ia dan Saila dibantu seorang satpam rumah sakit membawa Pak Jainal ke IGD. Pak Jainal ditangani dengan cepat, dinyatakan keracunan makanan sehingga perlu dilakukan tindakan cepat. Satu jam kemudian, Pak Jainal sudah kelihatan lebih baik. Walau terlihat pucat pria berusia awal empat puluhan itu tak lagi meringis kesakitan dan tengah tertidur. Istri Pak Jainal datang beberapa saat kemudian beserta anak laki-lakinya.

Juna dan Saila menunggu hingga Pak Jainal dipindahka ke ruang rawat, baru kemudian berpamitan. Juna sendiri yang menawarkan diri untuk mengantar Saila pulang. Maka di sinilah ia sekarang, melangkahkan kaki di atas marmer bermotif memasuki rumah besar berlantai dua.

Prince Half PauperWhere stories live. Discover now