LDUM-12

1.6K 135 7
                                    

Mengapa selalu ada kata perpisahan dalam hidup ini? Dalam segi apapun. Orang bilang perpisahan mengajarkan sebuah keikhlasan dan ketegaran, dan orang bilang juga perpisahan adalah bahagia yang tertunda, setelah perpisahan pasti akan dipertemukan kembali pada masa yang indah. Apakah aku harus mempercayai itu?

Aku hanya sementara perginya, Ai.

Kata-kata itu! Kata salam perpisahan dari Nabila. Aku tahu walaupun sementara, tetap saja ku anggap perpisahan. Entah apa alasan Nabila pergi sementara, kenapa dia tak memberitahuku? Kemana dia pergi?

Lalu bagaimana dengan diriku nanti? Egois memang. Aku akui selama ini aku selalu bergantung pada Nabila, terlalu banyak pertanyaan untuk diriku nanti ke depannya.

Baiklah, mungkin ku anggap perpisahan sementara ini akan mengajarkan diriku hidup dengan mandiri dan berani menghadapi dunia. Semangat, untuk diriku!

"Ai, sebentar lagi Bos baru kita datang, ayo rapihkan pakaianmu!" Hari ini adalah hari yang paling mendebarkan untuk aku, Bang Agis, Mbak Nesya dan Mbak Saras. Bang Agis bilang, dia sempat ber-chat via WhatsApp dengan Bos baru dan katanya foto profilnya itu hanya sebuah tangan yang memakai jam saja. Bagaimana kalau ternyata lebih tua dari Pak Beni dan galak? Tak ada Bos yang paling baik selain Pak Beni.

Kami sudah berdiri di sisi kanan dan kiri setelah tahu bahwa ada mobil yang berhenti di depan cafe. Aku menunduk saja.

Ku dengar pintu cafe terbuka, "selamat siang, P-pak." Bang Agis berbicara terbata-bata, ini meyakinkan aku bahwa ekspetasiku benar Bos nya itu berwajah sangar dan berjenggot. Ku lirik Mbak Saras di sampingku melongo. Tuh, kan. Benar!

"Selamat siang, semua." Suara ini... seketika tubuhku menegang, benarkah Bos baru itu dia?

Dia melihatku dan tersenyum manis, aku tersenyum kaku padanya. Terlalu sulit bagiku untuk mempercayai ini, apa ini mimpi?

"Sebaiknya mari kita duduk saja, tak enak jika berdiri. Ayo!" Kami semua duduk dan tepat di hadapanku si Bos baru.

"Saya tahu semuanya sudah kenal saya, 'kan? Apa perlu perkenalan? Menurutmu bagaimana, Ai?" Jelas sekali kami sudah sangat mengenalnya, dia itu termasuk pelanggan setia cafe ini. Jika pertemuan dengan klien-pun selalu di sini, karena mungkin memang jarak kantornya dekat dengan cafe ini. Aku hanya tersenyum saja.

Dia terkekeh pelan, apa maksudnya itu? Kok aku jadi kesal. Apa dia menertawakan responku yang hanya di beri senyum saja?

"Baiklah, untuk peresmian saja, ya. Setelahnya kalian panggil saya nama saja. Perkenalkan dan salam kenal, nama saya Muhammad Azka Firmansyah. Biasa di panggil Azka, Manager keuangan di PT. Mandiri Jaya dan sekarang bertambah menjadi Bos di sini. Sekian."

Hening.

"Bang, Mbak! Jangan kaku dong! Kaya yang gak biasa aja sama saya." Aku terpaku sejenak melihat Azka tertawa, selalu saja hatiku berdebar saat melihat dia tersenyum atau pun tertawa. Bagaimana mau move on kalau sekarang dia dekat di sekitarku?

"Tapi, kan sekarang lo udah jadi Bos kita. Gak nyangka gue lo yang beli cafe ini, apa tujuan lo beli cafe ini?" Benar apa yang dikatakan Bang Agis, walaupun sudah lama mengenal tetap saja tak sopan, 'kan?

"Kebetulan Pak Beni itu Paman saya, tujuan saya membeli cafe karena ingin membantu Paman dan karena saya memang ingin jadi Bos supaya bisa memerintah kalian semua, hehe." Tangan kanan Azka membentuk vis saat kalimat terakhir. Dasar Azka! bang Agis, mbak Nesya dan mbak Saras mencebikkan bibirnya, hihi. Sementara aku hanya menunduk karena pipiku menghangat. Ya Allah.. padahal dia tidak sedang menggombaliku, aihhh baperan sangat diriku ini.

"Ya.. gue sih awalnya kaget aja ngeliat lo muncul di pintu cafe, gak nyangka aja gitu. Tapi, ya. Okelahh.. setidaknya kita kenal lo dan ekspetasi kita gak sesuai," mbak Saras berkata dengan santai. "Emang ekspetasi kalian gimana?"

Mbak Saras permisi sebentar karena ingin mengangkat telepon. "Yang ada di pikiran gue, Bos baru nya itu gemuk, kepalanya terus ya.. berjenggot. Gitulah." Lagi-lagi Azka tertawa Mbak Nesya mengungkapkan dugaannya. "Ai, yang dikatakan Mbak Nesya bener gak? Ternyata salah ya, Ai. Realitanya tampan, bertubuh ideal dan yang terpenting gak gembrot. Hahaha," apa sih, Azka? Aku menundukan kepalaku kembali. Seperti biasa aku merasakan pipiku menghangat. Aishh..

"Lo ngebaperin anak orang, Ka. Parahh.. jangan gombalin adik kesayangan gue!" Bang Agis, aduhh.. dia 'kan hanya becanda. Aku melirik Azka yang terkekeh, "saya gak ngegombalin cuman ingin mencari kebenaran bahwa saya itu tampan." 

"Udah-udah! Jadi gimana nih, lanjut buka atau tutup. Ibu gue tadi telpon minta anter. Gimana Bos baru?" Mbak Saras datang melerai sehabis bertelepon yang ternyata dengan ibunya. Azka melihat jam di tangan, "sekarang tutup aja dulu. Besok kembali aktif, kebetulan saya mau ngurusin urusan kantor. Bang, lo punya kunci cadangan, 'kan? Nanti kunci ya! Saya mau duluan saja. Mari, Assalamu'alaikum." Kami menjawab salam bersama.

"Bisu, gimana keputusan lo?" Ah, ya. Masalah mbak Nesya yang mengajakku tinggal bersama kemarin aku sudah memikirkannya. Lagipula Nabila dan sekeluarga mengizinkan.

Ponsel; iya, Mbak. Aku mau.

Mbak Nesya tersenyum puas. "Oke, nanti kita ke kontrakan lo dulu. Kemasin barang-barang lo," aku hanya mengangguk. Semoga keputusanku tak salah.

.
.





Luka Di Ujung MentariWhere stories live. Discover now