LDUM-34

1.4K 163 25
                                    

Humm... gak kerasa ya Ramadhan cepat berlalu😌 bakal kangen lagi sama bulan Ramadhan, terutama pas kulsub😅 karena di situ akoh bisa liat cogan baek yg jarang keluar rumah.

Akhi😆

Gak deng boong, wkwkw.

Oke deh cuss langsung ke cerita..

Happy reading... moga ndak mencengangkan yups. Atau memang udah ada yg nebak sebelumnya tentang... Rafka?

⬇⬇⬇



Aku menyusuri koridor rumah sakit bersama Ayu, wajah cemas Ayu tidak dapat disembunyikan walau Ayu masih dalam mode kesal pada abang satu-satunya.

Ya, Rafka mengalami kecelakaan.

Pada saat aku dan Ayu duduk santai di gazebo kampus, tiba-tiba saja ibu Rosa menelpon Ayu mengabarkan bahwa Rafka mengalami kecelakaan.

Aku sempat menolak ajakan Ayu untuk pergi bersamanya, namun karena paksaan akhirnya aku mengiyakan.

Saat pintu terbuka, disitu sudah ada ibu Rosa dan uhm seorang pria, kalau tidak salah Aji namanya. Pria yang selalu memakai topi berwarna biru, dan yang hampir mepecehkanku pada saat Aji tidak sadar di parkiran klub saat itu.

Entahlah apakah Aji mengingat atau tidak. Aku harap tidak, karena katanya orang mabuk tidak akan ingat apa yang dilakukannya.

Aku lihat hanya kepala Rafka saja yang diperban, selebihnya normal. Diam-diam aku mengembuskan napa kelegaan. Rafka hanya mengalami luka ringan saja.

"Gimana ceritanya Abang bisa kayak gini?"

Aku tidak memperhatikan perbincangan antara adik dan kakak itu, aku lebih memilih menjauh saja. Tapi aku tidak melupakan kesopanan, saatbaku datang tadi, aku sudah sapa dan salam pada ibu Rosa.

Alasanku menjauh adalah karena sosok Rafka yang dari awal aku datang dia terus saja melirik padaku, bahkan aku sempat melihat ada senyuman tipis di bibirnya.

Aku duduk di kursi luar, hanya ada beberapa orang saja yang duduk sama sepertiku. Aku menoleh ke samping dan memdapati Aji lah yang menempati kursi di sampingku.

"Kita ketemu lagi, manis."

Ingatkan aku bahwa Aji lah yang pertama kalinya mengolokku dalam lingkaran perteman Rafka pada saat di kafe saat itu.

"Udah bisa ngomong belum?"

Pertanyaan bodoh.

"Belum, ya, hum? Padahal gue pengen denger suara lo. Eh ... entah ini mimpi gue atau apa, gue liat muka lo di parkiran klub. Lo juga nampar gue. Itu bener, gak?"

Haduh... kenapa dia ingat, sih?

"Tapi gak mungkin juga sih cewek kayak lo ada di klub. Haha, mimpi gue aja kali. Padahal di mimpi gue hampir aja gue nyium bibir lo."

Memang iya! Dan itu sangat menyebalkan. Untung saja dia aggap itu mimpi. Kalau diatau itu nyata, entahlah apa jadinya.

Karena tidak mau berdekatan dengannya, aku geser ke kursi ksoong satunya.

"Lah, kok pindah, manis? Padahal gue mau ngasih tau lo kebenaran."

Kebeneran? Kebenaran apa?

"Kalo lo kepo sini deketan," aku melirik Aji yang menyeringai. Hih, dasar buaya! Sama seperti Naufal.

Aku memang sangat kepo, tapi aku tidak mau berdekatan dengannya. Ada baiknya aku melakukan penawaran.

Kamu tulis saja di buku ini, ya?

Aku sodorkan buku kecilku padanya. Aji membacanya.

"Apaan? Yang mau gue omongin banyak lho, manis. Sayang tangan gue."

Lama-lama aku risi juga Aji memanggilku manis.

Aku mengambil kembali buku yang masih dipegangnya, lalu menuliskan kembali.

Terserah. Aku juga gak terlalu pengin tahu.

Lalu aku sodorkan padanya. Sesaat kemudian kudengar Aji mendesah panjang.

"Shhhh ... lo tuh ya. Dasar cewek emang gak mau dikalahi. Oke deh oke, fine!"

Diam-diam aku tersenyum geli.

Aku tunggu Aji menuliskan maksudnya sampai Aji menyodorkannya padaku.

Ini masalah sahabat gue, Rafka. Gue tau lo orang yang diincer sama Rafka selama ini. Dan gue juga tau alasannya. Emang bener sih lo mirip sama si Vera, mantan bininya Rafka. Gue cuman mau ngasih tau doang... sampai kapanpun Rafka gak bakal pernah lupain Vera, apalagi cintanya buat cewek belok itu. Jadi, lo milih gue aja :D

Lama kupandangi isi kebenaran dari Aji. Aku tidak tau apakah ini memang sebuah kebenaran atau kebohongan?

Tapi jika dipikir-pikir apa untungnya Aji membohongiku?

Mungkin ini sebuah petunjuk dar-Nya... mungkin.

***

Setelah selesai dengan Aji, aku memutuskan untuk pergi karena memang sudah jamnya untukku bekerja. Telat 1 detik saja, bisa-bisa aku disemprot oleh mbak Sarah.

Di sinilah aku, berkutat dengan perkakas masak. Pelanggan hari ini banyak sekali, jadi aku harus ekstra mencucinya.

Sebuah wajan diletakkan begitu saja oleh mbak Sarah.

"Cuci tuh! Cepetan ya soalnya mau dipake lagi!"

Segera saja aku melaksanakan titahnya. Setelah selesai aku menggantungkan di tempatnya, agar wajannya cepat kering.

"Sarah, bisa tolong kamu bantu Nesya?"

Aku menghentikan kegiatanku setelah mendengar suara... Azka.

Ada apa dia ke sini?

"Tapi Bos gimana sama urusan dapur?"

"Biar sama saya saja."

"Tapi ..."

"Sarah ..."

Kudengar desahan napas mbak Sarah.

"Oke, deh."

Dan kini... berarti aku berdua saja di dapur bersama Azka.

Oh, Allah...

Ternyata pengaruh Azka masih sehebat seperti dulu. Tanganku jadi kaku untuk bergerak, tubuhku pun menegang. Tapi sebisa mungkin aku melaksanakannya dengan baik.

Anggap saja tidak ada Azka.

Ya, seperti itu.

Tapi...

"Ai?"

"Tolong jangan berbalik, dan dengarkan saja apa yang saya ucap!"

Entah mengapa kerja jantunku meningkat. Uh...

"Maaf atas sikap saya waktu itu. Saya berlebihan memang sampai-sampai membenci kamu atas takdir Allah, dan mungkin itu menyakiti hatimu."

Aku memejamkan mata. Memang Azka... sangat.

"Untuk itu saya minta maaf sebesar-besarnya. Saya tau saya keterlaluan, tapi saya juga tau kamu wanita yang mudah memaafkan."

Mudah memaafkan tapi tidak akan pernah melupakan. Itulah yang dialami setiap manusia yang disakiti, Azka.

"Uhum ... untuk perkataan saya yang sangat mencintai Nabila itu memang benar. Tapi, saya tidak mungkinkan untuk terus menyendiri tanpa bangkit untuk menjalankan hal yang semestinya ... menikah?"

***

   
تقبل الله منا ومنكم عيدامبارك عليناوعليكم

Minal aidzin wal faidzin
Mohon maaf lahir dan batin

♡♡♡

Luka Di Ujung MentariWhere stories live. Discover now