LDUM-22

1.4K 122 22
                                    

Aku terperangah melihat betapa besarnya rumah yang kini ku pijaki. Warna putih yang mendominasi menambah kesan elegan. Maa Syaa Allah, bagus sekali. Tak sabar aku ingin masuk ke dalamnya, di luar saja sudah indah apalagi di dalam. Ayu memencet bel rumah, lalu keluarlah wanita, ku perkirakan berumur diatas 30-an.

"Assalamu'alaikum, Bi." Salam Ayu pada wanita itu. "Wa'alaikumsalam Dek Ayu." Wanita itu tersenyum hangat pada Ayu dan aku.

Aku membalas senyumnya, Ayu memegang tanganku lalu membawaku masuk ke dalam. Tuh, kan. Apa ku bilang. Interiornya mewah sekali, aku hanya bisa menganga. Aku dipersilahkan duduk di sofa coklat ini oleh Ayu. Lalu wanita yang menyambut tadi datang membawakan 2 gelas minuman dingin. Sudah berapa kali aku meminum minuman dingin pada hari ini?

"Silahkan, Dek Ayu dan...,"

Menyadari ketidaktahuan wanita itu, Ayu mengenalkanku. "Ini temanku, Bi. Namanya Aini," mengalihkan pandangan padaku. "Dan Aini, ini Bi Imah. ART di rumah ini. Sebenarnya ada lagi, nanti jika berjumpa akan aku kenalkan."

"Salam kenal ya, Dek Aini. Yasudah kalau gitu Bibi pergi." Aku dan Ayu menganggukan kepala.

"Bentar ya, Ai. Aku panggil mamah dulu." Selagi menunggu Ayu memanggil mamahnya, aku melihat-lihat kembali ruangan ini. Terdapat dua tangga yang berlawanan arah. Di setiap dindingnya terdapat figura, entah foto apa di dalamnya karena lumayan jauh dari posisiku duduk. Namun, figura besar yang bersandar kokoh di dinding samping tempat ku duduk. Aku bisa melihat sebuah keluarga yang berdiri penuh wibawa memamerkan senyum manisnya. Aku mendekati, bisa ku lihat di samping kanan ada wanita paruh baya memakai kerudung yang menghiasi kepalanya, di sampingnya. Ada Ayu yang sangat cantik memegang lengan Rafka. Maa Syaa Allah, di sini Rafka tersenyum sangat manis membuatnya tampan sekali. Lalu beralih lagi, ku lihat pria paruh baya berdiri dengan gagahnya. Benar-benar keluarga yang sempurna.

Aku kembali duduk di sofa coklat empuk ini. Begitu bahagianya aku hanya karena menduduki sofa yang pasti mahal ini. Terdengar langkah kaki dari tangga kanan. Aku menoleh, ternyata Ayu dan mamahnya. Segera ku bangun lalu saat mereka dekat aku langsung mencium tangan mamah Ayu dengan takzim. Dapat ku rasakan mamah Ayu mengusap kepalaku.

"Duduklah, sini samping Ibu." Aku pun menurutinya, duduk di samping wanita cantik, penuh kelembutan.

"Kamu Aini?" Aku mengangguk.

"Nama Ibu, Rosa. Kamu bisa panggil apa saja, mau tante, ibu. Tapu lebih baik lagi kalo mamah." Ucap Ibu Rosa diakhiri dengan kekehannya. Cantik sekali.

Ibu Rosa membungkuk berusaha mengambil sesuatu di laci meja. Ternyata buku dan pena. Lalu ia menyodorkannya padaku dengan tersenyum. "Tulislah di situ. Ibu sudah tahu semua tenntangmu. Jadi, kamu memanggilnya apa?"

Ibu Rosa tahu tentangku? Mengapa Ayu, Rafka dan Ibu Rosa tahu tentangku? Apa mereka kenal dengan keluargaku? Segera aku menepis pertanyaan yang mengumpul di otakku. Lalu mengambil buku dan pena itu.

Aku menulis; Aini panggilnya Ibu saja

Ibu Rosa membacanya kemudian tersenyum, "yasudah, tidak apa-apa. Ibu masih punya stok kesabaran kok buat kamu manggil Ibu dengan sebutan mamah." Ibu Rosa terkekeh kembali dan kali ini pun Ayu ikutan terkekeh. Hanya aku saja yang tidak mengerti apa maksud perkataan Ibu Rosa. Jadi aku pun ikutan terkekeh saja.

"Kamu cantik sekali, Nak. Ibu tahu kamu cantik luar-dalam." Pujinya, aku pun tersenyum malu.

"Sebenarnya Ibu punya anak tiga. Namun, kakak dari Rafka meninggal pada saat dalam kandungan. Jadilah hanya Rafka dan Ayu. Ibu bersyukur karena anak-anak Ibu sangat menghormati dan menyayangi Ibu. Apalagi Rafka, saat dia akan berangkat ke kantor, dia selalu mengatakan aku cinta Ibu dan aku sayang Ibu. Lalu dia cium kening Ibu dan cium punggung tangan Ibu tiga kali.

..., Ibu katakan padanya, kapan kamu bilang aku cinta dan sayang kamu, istriku? Rafka hanya diam tak merespon. Langsung saja dia menancap gas." Jeda karena Ibu Rosa tertawa, "Ibu benar-benar ingin mendengarkannya mengucapkan pada istrinya kelak, namun Rafka itu enggan mencari. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, akhir-akhir ini Ibu lihat Rafka suka tersenyum sendiri saat memandangi layar ponselnya. Entah apa yang dia lihat, kamu tahu Ayu?"

Aku beralih memandang Ayu yang mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu. Lalu berkata dengan tampang polosnya, "Kayanya foto wanita deh, Mah. Foto bidadarinya."

"Kamu tahu siapa, Yu?" Tanya Ibu Rosa sembari mengusap punggung tanganku. "Pastinya wanita spesial yang meluluhkan hati abang, Mah. Mmmm, kita lihat saja nanti, Mah." Ucapnya dengan mengerlingkan mata padaku. Ada apa dengan mata Ayu?

Dapat ku tarik kesimpulan bahwa di hati Rafka sudah terisi oleh wanita pujannya. Sudah pasti sih, Rafka itu tampan, sholeh dan mapan. Pasti banyak wanita yang siap dinikahkan.

"Ada yang ngelamun tuh, Mah. Hahaha."

Ya Allah, aku ini seringkali melamuni apabila yang berkaitan dengan Rafka. Aku menggaruk hidungku yang tidak gatal.

"Sudah jangan di goda, Dek. Nanti salting. Oh iya, Nak Aini malam ini menginap ya di sini?" Pinta Ibu Rosa dengan raut wajah memohon. Aduh, apa yang harus aku jawab. Dalam diriku sendiri aku tidak mau, karena aku baru saja mengenal dan aku tidak enak pada Mbak Nesya. Ku lirik sekali lagi wajah permohonan Ibu Rosa. Sebaiknya aku minta izin Mbak Nesya terlebih dahulu.

Aku pun menulis; Aini kabarin Mbak Nesya dulu ya, Bu. Soalnyakan Aini tinggal di rumahnya Mbak Nesya

Setelah membaca apa yang aku tulis, Ibu Rosi mengangguk.

Aini: Mbak, maaf untuk hari ini karena aku gak masuk kerja. Aku diajak teman main ke rumahnya, temanku kebetulan kenal dengan Bos Azka. Jadi, dia yang meminta izin dan diizinkan. Dan Mbak, aku diajak oleh ibunya temanku untuk menginap apakah boleh?

Aku sudah mengirim pesan pada Mbak Nesya, tinggal menunggu balasannya saja. Ibu Rosi bangun dari duduknya, otomatis akupun ikut bangun.

"Aini. Ibu mau ke kamar ya, nanti kabarin Ibu kalau kamu diizinin. Kamu sama Ayu, ya." Aku mengangguk, selepas kepergian Ibu Rosi, aku diajak Ayu untuk ke kamarnya. Sepanjang aku berjalan, tiada hentinya aku terperangah atas keindahan rumah ini.

Kini berhenti di hadapan pintu berwarna putih bertuliskan, 'kamar Ayu, ketuk dulu sebelum masuk' ada-ada saja Ayu ini.

Ketika pintu terbuka, harum khas Ayu langsung menyerual masuk ke indra penciumanku. Ku masuk dan ku jelajahi kamar ini, aku kira banyak benda-benda seperti kamar orang berada. Tapi, Ayu tetaplah Ayu dengan segala kesederhanaannya. Ada hal yang menarik perhatianku, yaitu rak yang berisikan buku-buku. Dari sekian banyaknya buku, dibagi dengan genre yang sama. Tertera keterangan di situ.

Ayu membuka pintu menuju balkon, aku menghampiri dan mataku langsung di suguhkan oleh indahnya langit senja. Semilir angin sore membuat kesejukan tersendiri bagiku. Netraku menjelajah dan terhenti pada samping kanan dimana balkon ini berada. Di situ terdapat balkon, mungkin itu kamar Rafka. Perhatianku teralihkan pada ponsel yang berbunyi menandakan pesan masuk.

Mbak Nesya: enak banget lo di sana seneng-seneng. Gue disini encok. Tapi gak papalah, lo gue izinin nginep. Asal jangan lupa diri aja dimana lo tinggal.

Aku tersenyum tipis, memaklumi sifat Mbak Nesya padaku. Aku memberikan ponsel ini pada Ayu, Ayu membacanya dan raut bahagia langsung tercetak di wajah cantiknya.

"Alhamdulillah. Kamu tunggu ya kalo gitu, aku mau kabarin mamah dulu." Ayu begitu bahagia sekali saat aku diizinkan, dan dia antusias sekali saat ingin memberitahu Ibu Rosa. Aku malah yang merasa tidak enak dan sungkan. Tapi, mau bagaimana ini kemauan Ayu dan Ibunya.

Pandanganku turun saat mendengar suara mobil. Keluarlah sosok pria, Rafka. Seekor kucing langsung berlari menghampirinya dan menggesek-gesekkan kepalanya di kaki Rafka. Rafka berjongkok sebentar lalu mengelus kepala si kucing dan berjalan masuk ke dalam. Pemandangan itu di mataku terlihat sangat manis, Rafka si penyuka kucing. Jarang sekali ada pria yang suka pada hewan imut bercakar itu.

Setelah melihat pemandangan tadi, tanpa sadar pikiranku berkelana pada hubungan dengan keluargaku. Apakah masih bisa untuk saling menerima dan memulai dengan lembaran baru?

.
.

Luka Di Ujung MentariWhere stories live. Discover now