LDUM-17

1.4K 116 5
                                    

Datangnya Kak Frans selama bertahun-tahun tak jumpa, hilangnya kabar Nabila yang sampai saat ini belum mengabariku sama sekali bahkan ponselnya tak aktif, dan munculnya Naufal yang secara terang-terangan mendekatiku hingga yang lain salah paham denganku terutama Dara dan Serly. Menganggapku seperti wanita yang bermain dukun agar Naufal terpesona padaku, cihh. Terlalu mengambil kesimpulan sebelum mencari tahu.

Berbagai keterkejutan, kejadian terbungkus dalam satu wadah; masalah. Ya, masalah. Itu sebuah masalah besar bagiku, diriku yang minim dalam pergaulan menjadikan diriku tak bisa mengatasi masalahku sendiri. Aku butuh seseorang yang mau menguatkanku, memberiku solusi untuk semua permasalahan ini.

Bagaimana aku bisa mejelaskan dan membuat Bang Frans mengerti dan mencoba menerimaku walau tak seagama lagi dengannya?

Bagaimana caranya agar aku tahu keadaan Nabila sementara Ibu dan Ayahnya pun ikut bersamanya?

Dan bagaimana aku bisa membuat Naufal berhenti mendekatiku, menganggu waktu kesendirianku? Dengan datangnya Naufal, bertambah pula pelik masalah dalam hidupku.

Jika bisa aku ingin menceritakan semua ini pada Bang Agis atau Mbak Nesya. Namun aku tak cukup berani untuk mengungkapkannya, terlebih dari awal memang
selalu menutup rapat masalahku dari mereka. Ah ya, mungkin untuk urusan Kak Frans pasti Bang Agis dan Mbak Nesya akan memaksaku untuk menjelaskan. Aku tak tahu apakah aku siap untuk menceritakan masalah itu.

Aku tahu dalam kehidupan pasti selalu ada masalah, satu masalah selesai muncul satu masalah lagi. Atau satu masalah belum selesai datang secara bersamaan masalah yang lain. Oh, Allah. Aku hanya bisa berdoa padamu saja.

Pernah terbayang olehku, pasti akan ada saatnya keluargaku muncul satu-persatu atau secara bersamaan. Satu yang ku takuti..

Mereka semua membenciku dan menginginkan diriku mati seperti kata Kak Frans.

Bagaimana aku menghadapinya? Bagaimana? Dan aku harus apa?

"Oi," ah, ternyata Ayu sudah kembali setelah mengatakan ingin ke toilet. Senang rasanya aku memiliki teman baru, Ayu yang mengatakan padaku ingin menjadi temanku, ingin menjadi sandaran untuk semua yang terjadi padaku. Tapi apakah aku harus seepat itu mempercayainya? Walaupun kami satu lingkungan, tetap saja bagiku Ayu masih orang baru. Dia baru memasuki hidupku, aku tak ingin jadinya hal ini hanya akan menjadi sebuah boomerang bagiku.

"Ngelamun lagi? Kamu ngelamunin apa sih? Mau cerita?" Aku meringis pelan, ku lihat wajahnya sangat penasaran. Hey Ayu! Aku pun penasaran, apakah kau murni ingin berteman denganku dan apakah kau punya misi penting untuk mengorek kehidupanku?

"Kamu habis ini langsung ke tempat kerja, 'kan?" Aku mengangguk, "aku ikut ya, sekalian ingin tahu tempat kerjamu. Jujur saja aku hanya melewati tak pernah masuk ke dalamnya," Ayu terkekeh pelan. Aku pun ikut terkekeh.

Ayu mengeluarkan ponsel, "oh iya, Ai. Kamu tau kan sehabis ujian semester ini, bakal ada event gitu yang jurinya tokoh sastra Indonesia," aku mengangguk.

Ayu mengutak-atik ponselnya, "nah, sekarang lagi ramai ngebahas event itu. Ini aku dapat kabar dari grup katanya dalam beberapa minggu lagi. Eh, maksud aku setelah di umumkannya pencapaian hasil ujian kita. Gitu, Ai. Terus katanya nih ya katanya, event nya itu puisi, Ai. Aku sih berharapnya Chairil Anwar yang jadi jurinya, hehe," Ayu tertawa, tawanya cantik sekali.

Ah ya, masalah event itu aku semangat sekali ingin mengikutinya. Itu akan menguji bakatku dan barangkali hadiahnya yang ulala, hehe.

Ponsel; kamu jangan lupa kabarin aku tentang kelanjutan event itu

Ayu memberikanku ibu jarinya, "sipp Aini," aku mengelengkan kepala. Dasar.

Ponsel; udah mau masuk kerja, kita langsung ke cafeku ya.

Luka Di Ujung MentariWhere stories live. Discover now