B A G I A N • 22 •

5K 519 11
                                    

"Mas Irsyad dipindah tugaskan ke Bandung, Dek. Dan besok dia harus sudah berangkat," ucap Faisa sembari menatap seksama ke arah Nadhifa.

Nadhifa yang mendengar hal itu hanya mampu menghela nafasnya, menarik kedua sudut bibirnya dengan kaku seraya melafalkan istighfar dalam hatinya, mencoba menenangkan dirinya yang tengah kesal pada seseorang yang tak lain adalah Ferly. Walaupun sebagian dalam dirinya terus saja mengingatkan jika dia tak boleh su'udzon dengan gadis itu, karena bisa jadi hal itu memang murni dari pihak perusahan, bukan malah ulah Ferly. Tapi entahlah, Nadhifa sudah tidak bisa lagi mencegah rasa curiganya itu. Mungkin... karena dia masih mengingat dengan jelas bagaimana Ferly mengancam hal itu padanya tempo hari.

"Maafin Kakak ya... Karena harus ninggalin kamu sendiri disini. Kamu tau kan, Dek gak mungkin Kakak berjauhan dengan suami kakak?"

"Iya, Kak aku bisa ngerti kok posisi Kakak gimana. Lagi pula aku juga gak masalah tinggal disini sendiri." jawab Nadhifa dengan senyum yang lebih mengembang dari sebelumnya, berusaha meyakinkan sosok Faisa yang tampak berat meninggalkan dirinya.

"Dan untuk---" Faisa menggantungkan ucapannya, ragu dengan apa yang hendak dia katakan pada adiknya itu.

"Gakpapa Kak. Aku percaya sama Kakak," saut Nadhifa dengan cepat, paham dengan apa yang dimaksudkan oleh Faisa.

"Kamu beneran percaya sama Kakak?"

Nadhifa menganggukan kepalanya. Lantas meraih lengan Faisa. Menempelkan kepalanya di bahu Faisa. "Kita dari kecil udah sama-sama, Kak. Setiap hari kita habiskan waktu bersama. Lalu gimana mungkin selama itu aku gak bisa mengenali sifat kakak? Dan jika aku sudah percaya dengan Kakak, itu berarti kakak memang bisa dipercaya. Tolong..." ucap Nadhifa penuh harap, walaupun tak bisa dipungkiri juga masih ada rasa berat akan permohonannya itu. Karena nyatanya diapun tak ingin Faisa jauh darinya.

"Terimakasih, Dek untuk kepercayaan kamu. Kakak akan berusaha untuk selalu menjaga kepercayaan itu. Karena Kakak gak ingin merusak kepercayaan seseorang lagi, seperti halnya yang kakak lakukan kepada Abi dulu."

Spontan Nadhifa mengangkat kepalanya. Lalu menatap ke arah kakaknya dengan raut sedih yang kentara. "Kak..." gumam Nadhifa.

Faisa mengarahkan tangannya mengelus pipi Nadhifa. Kemudian melebarkan senyumnya.

"Maafin Kakak ya, Dek. Dulu kakak terlalu bodoh hingga--"

"Kak udah..." potong Nadhifa seraya memeluk Faisa dengan air mata yang menelusup begitu saja dalam kelopak matanya. "Dhifa mohon jangan katakan itu lagi." tambahnya dengan suara parau.

"Tapi--"

"Aku mohon, Kak." lirihnya kembali.

Dan sebuah anggukan kepala dari Faisa, menjadi akhir percakapan keduanya.

***

Bibirnya tak hentinya melafalkan dzikir, tangannyapun turut mengikuti lantunan dzikir itu. Dan cahaya tamaram lampu menjadi teman setia Nadhifa setiap malamnya.

Gadis cantik itu, tengah bermunajat kepada Sang Pencipta. Memohon ampunan atas semua dosa yang pernah ia lakukan. Tak lupa juga, memohon harapan yang masih sama seperti dulu.

Namun malam ini, ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Karena dia juga menyelipkan nama seseorang dalam doanya. Seseorang yang terus saja memenuhi pikirannya. Seseorang yang menggentarkan hatinya. Dan seseorang yang membuat dirinya ketakutan.

Takdir Bertasbih [Completed]Where stories live. Discover now