•00° Awalnya Begini••••

129K 4.6K 399
                                    

T E K A N B I N T A N G
V O T E S
••••••

Di antara mimpi, harapan, dan kenyataan. Untuk kamu yang percaya akan mimpi bisa menjadi nyata, yang percaya akan adanya perwujudan dari keajaiban, dan yang percaya akan campur tangan Tuhan.

••••••••••

"Bu, tapi Rahma masih pengin lanjut sekolah lagi."

"Lanjut sekolah apa maksud kamu Rahma?!" seolah perkataannya itu sebuah tindak kriminal. "Ibu tidak mengizinkan."

Semua orang berhak mendapatkan pendidikan, 'kan? Namun, mengapa untuk Rahma itu perkecualian?

"Rahma janji akan cari beasiswa, cari kerja paruh waktu juga," Rahma mengikuti derap langkah sang ibu, seseorang yang telah melahirkannya di dunia ini. Bagaimana keras ibunya menolak, tidak mengizinkannya untuk kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi ia yakin bisa meluluhkan hati beliau sebentar lagi. Dirinya hanya perlu terus memohon. "Rahma janji nggak akan nyusahin Ibu sama Bapak lagi."

Seorang wanita paruh baya yang bernama lengkap Marni Areta itu menghela napas kasar sembari mematikan kompor. Makanan yang ia masak sudah matang semua, tinggal menyajikannya dengan rapi di piring lalu menghidangkannya. Beliau berbalik lalu menatap tajam kedua bola mata putrinya. "Wajib belajar yang dianjurkan pemerintah itu cuma 9 tahun, Rahma. Dan Ibu sudah menyekolahkan kamu sampai sini. Sudah, cukup."

"Tapi, Bu... Rahma juga pengin sekolah SMA kayak temen-temen yang lain." Cicit Rahma dengan tangan yang menarik-narik ujung kausnya sendiri.

"Kamu jangan selalu melihat ke atas, Rahma. Kamu harus sadar, kamu ini anak siapa? Kamu lahir dari keluarga kurang mampu. Mimpimu terlalu tinggi untuk jadi Dokter!"

Sekali lagi, ibunya mematahkan mimpinya.

Sudah berapa kali Rahma bilang, ia ingin menggapai impiannya. Mewujudkan mimpi-mimpi yang ada di kepalanya. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa harapan, impian, mimpi-mimpi nan semu yang terangkai selama ini akan disusun secara nyata. Rahma akan melakukan apa pun untuk hal itu. Untuk meraih cita-citanya.

"Kamu ini mbok, ya, mikir. Udah besar. Udah baligh," Marni berkata sambil menata hidangan makan malam. Beliau sesekali melirik pada jam dinding yang menempel pada dinding dapur. Takut-takut terlalu lama menyiapkan makan malam itu. "Sudah cukup Bapak sama Ibu biayain kamu dari kecil. Ganti kamu yang kerja buat keluarga."

Kerja apa? Coba sebutkan pekerjaan yang bisa Rahma lamar hanya dengan mengandalkan ijazah SMP? Yang lulusan S1 saja sekarang masih banyak yang terlantar, apalagi dirinya yang hanya pendidikan rendahan.

"Bapakmu koma di rumah sakit, Adikmu juga masih sekolah, Ibumu cuma babu di rumah yang kayak istana ini. Udahlah, Rahma. Mbok, ya, kamu bangun. Mimpimu terlalu tinggi."

Kata demi kata dari Marni sungguh mengiris hati Rahma. Perih sekali.

Kata-kata itu seperti pisau yang dihujamkan pada jantungnya, juga seperti gaya gravitasi bumi yang selalu membawanya jatuh ke bawah.

"Mending kamu cari pekerjaan. Lumayan uangnya buat bantu Ibu bayar hutang. Kamu nggak lupa 'kan kalau keluarga kita terlilit banyak hutang di bank?" Marni mengingatkan lagi betapa penderitaan keluarganya yang tidak pernah berakhir. Sulit untuk mengakhirinya.

"Rahma bisa sekolah sambil kerja, Bu." Sepertinya, Rahma masih gigih terhadap mimpinya.

"Kerja paruh waktu?" tanya ibunya yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh Rahma. "Kalau kamu kerja paruh waktu sambil sekolah, uangnya cuma bisa buat bayar SPP sekolah kamu. Lagian itu, sekolah yang kamu daftari, apa itu tadi namanya... SMA Cendekia Bangsa, kamu pikir Ibu nggak tahu itu sekolah apa? Itu sekolah terfavorit di kota kita ini, 'kan?"

R2•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang