Nightmare - 2

133 11 0
                                    

Aku mengenakan kaos berlapis rompi, dan berjalan santai memasuki ruang kerja Jonathan Guntur. Laki-laki dewasa yang selalu menginginkan aku menjadi anaknya, dan dalam hitungan hari, keinginannya akan terwujud. Tanpa mengetuk pintu, aku langsung masuk dan duduk disebuah sofa yang berhadapan dengan meja Ayah dari Valeria Guntur ini.

"Pagi Om." Sapaku dengan senyum penuh persengkongkolan. "Om, sudah bicarakan dengan Valeria?" tujuanku kesini, semata hanya untuk menanyakan kebersediaan Valeria menjadi Istriku. Bukan tawaran buruk. Gadis mana yang menolak pinangan Putra Yamada, sekalipun mereka duda?

"Yah... Semalam Om sudah bicara." matanya menelisikku dalam-dalam. Memang Jonathan Guntur. Bisa-bisanya mengintimidasiku? "Tapi dia tidak punya pilihan lain. Sekembalinya mereka dari Boston, dan sepertinya Valeria sudah menyadari posisinya." Pria bertubuh besar itu bangkit, berdiri membelakangiku menghadap jendela besar yang menghadap pada taman dan paviliun kecil dirumahnya.

"Anak itu tidak punya pilihan lain. Lagipula, setelah kematian resmi dari Noriko, keluarga kita tidak lagi terikat hubungan apa-apa, selain kerjasama bisnis."

Rubah tua licik.

"Tapi saya tidak mau terlalu memaksa Om, biarkan ini mengalir dengan sendirinya." Aku berpura-pura melunak. Toh, dipaksa atau tidak, Jonathan Guntur akan menyerahkan anaknya padaku. Kalau masalah perasaan, kita lupakan saja dulu. "Kalau nanti Val nggak keberatan, Rabu minggu depan saya minta ijin untuk mengajaknya pergi." Rumitnya meminang anak Beruang Raksasa. Hanya ingin pergi sebentar saja seakan harus memiliki visa! Coba kalau Erika. Mau pergi, ya tinggal pergi. Tanpa pamit pun jadi.

Ck! Kenapa harus Erika lagi, sih?!

Yah, paling tidak, Val hanya batu loncatanku untuk kemajuan bisnis perusahaan. Masalah nanti dia bosan padaku, dan memohon cerai, itu urusan belakangan.

"Tapi, bagaimana dengan kamu sendiri?" Om Nathan balik bertanya padaku. Bagaimana apanya? "Apa kamu sudah melepas perempuan preman itu?" Oh, soal Erika. Entahlah.

"Kalau kamu masih ragu dengan hatimu, bagaimana dengan Val nanti?" Eh? Apa barusan aku benar-benar menjawabnya? "Kalian hanya saling melakukan pelampiasan, bukan?" dasar orang tua kolot.

"Begini, Om." Aku menegakan tubuhku, membuat posisi siaga yang sampai kapanpun tidak akan bisa mengintimidasi orang ini. "Saya dan Erika tidak pernah menyatu. Bukan hanya sekedar latar belakang kami, tapi juga cara berpikir kami." Aku meyakinkan untuk yang kesekian kalinya. Pokoknya, aku harus mencapai kesepakatan laten hari ini juga...!!!

"Jek..."

Pandanganku dan Om Nathan beralih pada sosok tinggi kurus, yang wajahnya terlihat pucat. Air mukanya datar saat menatap kami, dia menggeleng sesaat sebelum menghampiri meja Om Nathan.

"Ini laporannya, Mr. Guntur." Erika menyodorkan map hitam yang setengah permukaannya terbakar, dan sebuah gantungan kunci berikut anak kunci yang sudah patah. "Putri selamat. Rima mengalami cidera, dan sedang bersama Aya menuju rumah sakit." Aku pura-pura tidak mendengarkan, meski tiap kata itu tetap mengalir masuk dalam telingaku.

"Berarti, hanya kamu yang selamat tanpa cidera?" Erika menggeleng.

"Putri. Hanya Putri yang pulang dengan selamat tanpa cidera." Setelah mengatakan itu, Erika langsung berjalan keluar. Tanpa pamit, tanpa basa-basi lagi. Langkahnya cepat, kepergiannya diiringi angin dingin yang kering. Tanpa ada perasaan apapun disana.

Perasaan tidak enak apa ini?

Omen Love StoriesWo Geschichten leben. Entdecke jetzt