Final

207 13 5
                                    

"Erika cuma punya elo!"

"Bahkan keluarganya pun nolak dia"

"Lo bajingan Vik!"

"Lo udah rebut Val dari gue, dan sekarang lo juga bunuh Erika?"

"Lo melengkapi penderitaan Erika, Viktor..."

"Sakit lo!"

"Jek..."

"Jangan tinggalin gue Jek... Disini gelap... Gue gak suka ada ditempat gelap sendirian..."

- -

Terbayang kepingan imajiner yang terus menghantui, membuatku bagai orang gila 2 minggu ini. Mungkinkah aku membunuh Erika secara tidak langsung?

Aku membuat sebuah simpul diatas tangga menuju ruang tamu kamarku. Menjuntaikannya hingga mencapai setengah dari tinggi void, lalu memastikannya sudah benar. Persetan dengan harta, persetan dengan semuanya. Erika jauh lebih membutuhkanku sekarang...

Aku berjalan ditepian lantai dua, menggantungkan leherku pada kain panjang itu, lalu meloncat hingga aku bergantung pada leherku dengan kaki yang tidak memijak pada dasar lantai. Berusaha untuk tidak mengeluarkan suara kesakitan sedikitpun, meski rasa panas yang membakar memenuhi dada dan tenggorokanku. Lalu kurasakan semuanya berputar, tubuhku yang semakin mendingin, hingga aku seperti jatuh kedalam sebuah jurang tak berdasar.

Semuanya terhenti saat kurasakan beban berat pada dadaku... Lalu perasaan panas pada leherku berganti menjadi rasa perih yang sepertinya familiar.

Saat membuka mata, aku tidak dihadapkan pada void rumahku, melainkan langit-langit yang tidak terlalu tinggi, dengan wajah seseorang yang terlihat sembab. Kedua tangannya mencekikku dengan kuat. Dan saat dia sadar bahwa aku sudah bangun, dia langsung menjerit histeris...

"Sampe lo selingkuhin gue, gue potong badan lo berkeping-keping...!!! Gue kasih makan hiu peliharaan gue...!!!"

T-tunggu, tunggu dulu?

"Kamu bukannya udah mati, Ngil?" ada apa ini, kenapa suaraku bergetar?

"Bangsat lo Jek, berani-beraninya nyumpahin gue mati!" bersamaan dengan itu, sebuah tamparan mendarat pada pipiku. Panas, tapi aku senang. Berarti itu hanya mimpi buruk.

"Coba aja lo selingkuh, bahkan ngebunuh gue, terus yang mau urus dua anak ini siapa?! Elo? Makan aja kalo gue gak ingetin lo gak bakal makan!" Erika terus memaki sambil memukuliku tanpa jeda. Aku melirik kebalik badannya, disana ada dua anak kembar kami. Astaga! Aku lupa sudah punya dua anak kembar!

Ck!

Tanpa aba-aba, aku menarik Erika dalam pelukanku, mengecup kepalanya tanpa henti. Apa mungkin, selama aku bermimpi, aku mengigau? Hingga Erika memukuliku tanpa henti?

"Selama aku mimpi, kamu denger apa aja?" aku bertanya dengan lembut, rasanya, lucu juga melihat Erika cemburu terang-terangan seperti ini.

"Gak tau!" Erika memukul dadaku keras, hingga terdengar suara berdebam. "Pokoknya dimimpi lo, gue mati, terus lo mau bunuh diri." hah? Apa itu benar? Pantas saja, rasanya duniaku suram.

"Nggak. Itu cuma mimpi." Aku mengacak lebut rambutnya. Mau punya anak dua belas sekalipun, rambut Erika tidak akan lebih panjang dari rambutku. Selalu dipotong dua jari dibawah cuping telinganya. "Lagian, gak rela aku mati muda." Aku terkekeh sesaat sebelum melihat wajah murka Erika.

"Seenggaknya, kalo lo mau mati, jangan gara-gara selingkuh!" Ya ampun! Sebegitu kepikirannya kah Istriku ini?

Apalagi kalai dia tahu aku meninggalkannya karena Valeria Guntur.

"Pah... Mah... Kita mau tanya." Oh, ada si Guruh dan si Yamada di sini.

"Apa? Pasti Papa jawab." Aku menggendong yang perempuan, disusul yang laki-laki memanjat naik keatas ranjang kami.

"Adik bayi datengnya dari mana?"

Omen Love StoriesWhere stories live. Discover now