33. Luka Hanna

132 47 52
                                    

“Tangan kamu tidak apa-apa?” Jaehyun memegang tangan Hanna dan mengamatinya lamat-lamat. Sesekali dia memijit-mijit tangan kecil Hanna seolah mencoba mengurangi rasa sakitnya.

Saat ini mereka sudah di dalam mobil. Setelah mendengarkan ocehan tidak berguna Guanlin tadi, mereka memutuskan segera beranjak. Bahkan tanpa menghabiskan es krim kesayangan Hanna.

“Ga kok, Om. Tangan aku udah  terbiasa mukul tiang rusak kayak dia. Emang dasar tiang listrik udah karatan, ga ada kapoknya. Padahal aku tu hampir tiap hari mukulin dia loh. Apa badannyanya juga udah rusak? Makanya udah mati rasa,” cerocos  Hanna panjang lebar.

Jaehyun tersenyum menahan tawa. Namun, Hanna menatapnya heran. “Om, kok ketawa? Om seneng aku berantem sama Guanlin tadi? Mana lagi om ga ada belain aku. Ck! Kalo ga karena ganteng dulu aku juga ga bakalan mau pacaran sama dia,” cerocos Hanna lagi sambil merebahkan tubuhnya di punggung kursi.

“Hanna! saya bukannya tidak mau membela kamu tadi. Tapi kamu yang sudah menang melawan dia sebelum saya ikut turun tangan,” ucap Jaehyun membela diri. Tangan besarnya masih betah memijit-mijit pelan tangan Hanna. “Saya khawatir sama tangan kamu. Benar tidak sakit?” tanyanya lagi.

“Enggak kok, Om.” Hanna tersenyum manis dan menarik tangannya. Lama-lama dia risih dengan tindakan Jaehyun. Padahal tangannya tidak merasa sakit sama sekali.

“Kamu pasti sering bertengkar dengan dia ya?” selidik Jaehyun tiba-tiba.

“Bisa dibilang sering juga sih. Tapi ga pa pa kok, Om. Aku bisa lawan dia kok,” sahut Hanna seraya tersenyum bangga.

“Tapi kenapa kamu tidak pernah memberitahu saya?” tanya Jaehyun sambil memiringkan tubuhnya. Lagi-lagi Hanna hanya terdiam. Tatapan  Jaehyun semakin menuntut.

"Maafin aku, Om." Hanna menundukkan kepala sambil meremas tangannya sendiri.

“Saya seharusnya melindungi kamu,” ucap Jaehyun sambil membelai rambut Hanna lembut.  “Karena itu tanggung jawab saya.”

“Om!”

“Saya masih menyesal setelah kejadian kue cumi-cumi kemarin. Saya merasa sudah gagal melakukan tugas saya. Seharusnya saya menjaga kamu, karena saya suami kamu.”

Jaehyun menghela napas panjang. Mata coklatnya menatap Hanna penuh penyesalan. Tidak sedikit rasa kasihan. Sampai sekarang dia masih tidak habis pikir dengan orang-orang di sekeliling Hanna yang selalu mencoba membuatnya kesulitan.

“Maafin aku, Om,” ucap Hanna pelan.

“Kenapa kamu minta maaf?” tanya Jaehyun heran.

“Aku nyusahin om lagi.” Hanna menundukkan kepalanya semakin  dalam. Kini dia semakin tidak nyaman karena ucapan Jaehyun barusan. Lagi-lagi dia membuat Jaehyun kesulitan.

“Hanna ....” panggil Jaehyun dengan nada panjang. Gadis di sampingnya mengangkat kepalanya perlahan. Seketika Jaehyun meraup kepala Hanna dengan kedua tangannya, hingga tatapan mereka pun beradu. “Kamu tidak pernah menjadi beban siapapun. Itu memang sudah tugas saya, dan tanggung jawab saya. Hmmmm.” Jaehyun tersenyum manis. “Saya yang seharusnya minta maaf sama kamu.”

Hanna mengulumkan senyum kecut. Bukankah itu sama saja kalau dia memang sudah menjadi beban bagi orang lain. Lagi-lagi hatinya membatin.

##

Hanna ngusap-usap tangannya sendiri. Sesekali juga meniupnya agar terasa hangat. Malam ini terasa lebih dingin dari biasa. Syukurlah Jaehyun memutuskan untuk pulang cepat, tanpa mengajaknya jalan-jalan.

“Hanna, kamu kedinginan ya?”

Buru-buru Jaehyun membuka jasnya dan memasangkan di tubuh Hanna. Bodohnya dia tidak menyiapkan mantel ataupun jaket di ruangannya. Bagaimana kalau Hanna sampai flu?

Bukan Aurora ( Tamat )√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang