11. Ramalan Madam

1.2K 73 8
                                    

  MAAF JIKA ADA TIPO

🌸

  "Mati. Yang saya lihat di sini, sebentar lagi kamu akan mati."

🌸🌸🌸

    "Ini bukan tempat orang pacaran." Suara Jiwa menyadarkan Echa dan Raga. Echa langsung memundurkan tubuhnya. Dia kembali duduk ke tempat asalnya. Sudah dipastikan, pipinya memerah. Untungnya ini malam, berkas merah itu jadi tersamarkan.

    "Apaan, sih, lo?" Raga menatap Jiwa sinis. Jiwa terkekeh geli. Satu hal yang baru Echa ketahui, sikap dingin dan galak Raga selalu menutupi kegugupan atau salah tingkahnya.

    "Wah.... Selesai, deh." Echa menggembungkan pipi sebal. Pasalnya, biang lala itu sudah berhenti dan kini giliran pengunjung lainnya.

    "Kita cari yang lebih asyik." Tanpa meminta persetujuan, Jiwa menggandeng tangan Echa. Menuntun gadis itu keluar dari biang lala.

    "Mau yang mana?" tanya Jiwa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mata Echa juga ikut meneliti setiap inci pasar malam itu. Tidak ada yang berhasil menarik perhatiannya. Saat dia berbalik, matanya langsung disuguhi sebuah wahana rumah sakit hantu.

    "Ke situ, yuk, Ji?" Mata Echa berbinar sambil menunjuk rumah sakit hantu yang di depannya banyak sekali orang mengantre.

    "Emang lo berani?" Raga yang sudah gatal ingin bicara karena sedari tadi menjadi kambing congek itu akhirnya buka suara. Setahunya, Echa penakut.

    "Beranilah!"

   "Masa?"

    "Jangan ngeremehin Echa! Kita liat aja nanti!" Echa berkacak pingang. Menarik lengan Jiwa menuju rumah sakit hantu itu.

    "Gue nggak digandeng?" gumaman Raga terdengar jelas di kuping Echa. Tanpa mengulur waktu, Echa menggenggam tangan hangat milik Raga dan menariknya pelan. Ada yang aneh dalam diri Echa saat menggenggam tangan itu. Rasanya, sesuatu yang hilang dalam hidupnya bertahun-tahun yang lalu telah kembali. Rasa hangat yang sama, pada orang yang..., entah sama atau berbeda.

    Sekitar dua puluh menit mereka mengantre. Yang jelas, Jiwa dan Raga sudah membujuk Echa agar memilih wahana lain. Mereka takut nanti Echa pingsan di dalam. Namun, sifat kekanakan dan keras kepalanya keluar. Raga dan Jiwa menyerah. Suara teriakan orang-orang dari dalam sana juga tidak berhasil membuat Echa mengurungkan niat baiknya.

    Akhirnya, tibalah saat Echa, Jiwa, Raga, dan tiga pengunjung lainnya dipersilakan masuk.

    Saat menginjakkan kaki ke dalam, yang pertama kali terlihat hanya dinding-dinding hitam dan kain putih yang ada di tembok. Pencahayaannya remang-remang. Hal itu membuat Echa menggenggam tangan kiri Raga dan tangan kanan Jiwa. Posisinya, Echa berada di tengah-tengah kedua lelaki itu. Raga di sebelah kanannya dan Jiwa di sebelah kirinya.

    Sepuluh langkah kemudian, mulai terdengar suara-suara menyeramkan, tangisan, rintihan, pekikan, orang tertawa, dan lolongan serigala. Echa menatap Raga sekilas. Mata laki-laki itu sekarang menyorot ke depan dengan dingin dan tajam, entah karena apa. Dan Jiwa, lelaki satu itu terlihat biasa saja.

Raga nggak takut, 'kan?

    Mereka masuk lebih dalam lagi. Terlihat robot-robot hantu yang berpakaian seperti perawat, doktor, pasien, petugas kebersihan, dan mayat. Mereka memang robot, tetapi bisa bergerak. Jika diperhatikan, akan tampak seperti hantu pada umumnya. Muncul sudah rasa takut Echa kepermukaan. Ditambah, lorongnya semakin sempit. Hanya cukup untuk dua orang saja. Makin dekatlah Echa dengan robot-robot menyeramkan itu.

Jiwa Raga (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang