Doa Berbuka

582 26 0
                                    

#Islamic Geographic Institute
All About Islam-Recharge Your Iman
Seri: _Siyam was Syawal_

*Doa Berbuka “Allàhuma laka shumtu” Tidak Shahih dan Tak Ada Dalam Kitab Hadits Manapun, Benarkah?*

*Tanya:*
Ustadz, saya mendapat wacana bahwa doa berbuka _“Allàhuma laka shumtu dst”_ adalah tidak shahih dan tidak ada di kitab hadits manapun. Katanya yang shahih hanya doa _“dzahaba azh zhama'u wab-tallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insyaa Allah.”_ Mohon penjelasan Ustadz. (Putri Munawwaroh, Bantul)

*Jawab :*
Tidaklah benar jika ada perkataan bahwa doa berbuka puasa dengan lafazh _“allahuma laka shumtu dst”_ tidak terdapat dalam kitab hadits mana pun.
Dalam *kitab Al Adzkar An Nawawiyyah karya Imam Nawawi,* juga dalam *kitab Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu karya Syeikh Wahbah Zuhaili,* disebutkan bahwa doa tersebut terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh *Imam Abu Dawud* secara mursal dari *Mu’adz bin Zuhrah.*
*(Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm.162; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 3 hlm. 46).*

Dalam kitab hadits _Sunan Abu Dawud nomor 2358 dari Mu’adz bin Zuhrah, pada bab Al Qaul ‘Inda Al Ifthaar (Ucapan Pada Saat Berbuka),_ *terdapat* hadits yang lengkapnya sebagai berikut :

حدثنا مسدد، ثنا هشيم، عن حصين، عن معاذ بن زهرة أنه بلغه أن النبي صلى اللّه عليه وسلم كان إذا أفطر قال اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت

_“Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah bahwasanya telah sampai kepadanya bahwa Nabi   صلى الله عليه وسلم   jika berbuka puasa berdoa, _“Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.”_ (Ya Allah hanya karena-Mu aku berpuasa, dan hanya dengan rizki-Mu aku berbuka).”_ *(HR Abu Dawud, no 2358).*

Berdasarkan bukti yang nyata ini, *sungguh tidak benar perkataan yang dengan berani telah mengklaim* bahwa doa berbuka puasa dengan lafazh _“allahuma laka shumtu dst”_ tidak ada dalam kitab hadits mana pun.

Kami berprasangka baik _(husnuzh zhann)_ bahwa perkataan itu kemungkinan hanya melebih-lebihkan _(mubalaghah)_ belaka. *Yaitu* bahwa maksudnya bukan ingin benar-benar mengatakan doa _“allahumma laka shumtu dst”_ tidak terdapat dalam kitab hadits mana pun. *Namun (barangkali)* maksudnya adalah, hadits tentang doa _“allahumma laka shumtu dst”_ itu sebenarnya ada, namun derajatnya dhaif sehingga tidak layak untuk diamalkan.

*Jika memang demikian yang dimaksudkan,* maka hadits tentang doa _“allahumma laka shumtu dst”_ itu memang dapat dinilai hadits dhaif. Karena hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Mu’adz bin Zuhrah ini merupakan hadits mursal, sebagaimana kata Imam Nawawi, _”Haakadza rawaahu mursalan”_ (Demikianlah Abu Dawud telah meriwayatkan hadits ini secara mursal).

Padahal hadits mursal menurut sebagian ulama termasuk hadits dhaif. *(Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm.162; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, Juz 3 hlm. 46; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 72).*

Menurut *Syeikh Shubhi Shalih,* hadits mursal adalah hadits yang gugur darinya periwayat dari generasi shahabat _(maa saqatha minhu as shahaabi)._ Contohnya, seorang tabi’in (bukan shahabat) mengatakan, _”Nabi   صلى الله عليه وسلم   berkata begini atau berbuat begini”._ Hadits mursal ini menurut sebagian ulama memang digolongkan ke dalam hadits yang dhaif dan tertolak _(dha’iif marduud)._

Karena ia dianggap mengandung cacat, yaitu terputusnya sanad _(inqithaa’us sanad)._ *(Shubhi Shalih, Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, hlm. 166-167; Mahmud Thahhan, Taisir Mustholah Al Hadits, hlm. 72).*

Dalam kitab-kitab *Syarah Sunan Abu Dawud,* dijelaskan periwayat hadits bernama Mu’adz bin Zuhrah memang bukanlah seorang shahabat, melainkan seorang tabi’in. Imam Ibnu Hibban menyebut nama Mu’adz bin Zuhrah dalam kitabnya Tsiqaat At Tabi’in. Dan dalam hal ini memang tidak diketahui siapa nama shababat yang menjadi perantara _(waasithah)_ antara Mu’adz bin Zuhrah dengan Nabi   صلى الله عليه وسلم  . *Dengan demikian,* hadits Abu Dawud dari Mu’adz bin Zuhrah di atas memang hadits mursal. *(Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi,’Aunul Ma’bud, Juz 11 hlm. 483; Muhammad Muhammad Khathab As Subki, Al Manhal Al ‘Adzb Al Maurud, Juz 10 hlm. 81-82).*

Maka dari itulah, tidak mengherankan jika ada sebagian ulama yang menilai hadits Mu’adz bin Zuhrah tersebut adalah hadits dhaif. Misalnya *Imam Suyuthi* dalam kitabnya *Al Jami’ius Shaghir* yang telah menilai dhaif (lemah) terhadap hadits Mu’adz bin Zuhrah tersebut, dengan alasan hadits tersebut adalah hadits mursal.

Fiqih Islam IDonde viven las historias. Descúbrelo ahora