Bab Dua

41 17 7
                                    

"Gue ... gue pengen balikkin waktu, apa bisa?"

Amare merasa matanya mulai panas. Sedari tadi ia masih bergeming. Walau punggung Alby sudah tak terlihat lagi, kakinya terasa enggan untuk bergerak. Seluruh tubuhnya terasa begitu berat. Ditambah lagi, semua kejadian itu kembali terputar, bak sebuah kaset. Amare menghela napas, memejamkan matanya.

"Non, Non gak apa-apa?"

Amare menoleh ke arah Bi Imah yang menatapnya khawatir. Lalu, ia menaikkan kedua sudut bibirnya sembari berkata, "Amare gak apa-apa kok, Bi. Ga usah khawatir."

"Beneran, Non?"

"Iya, Bi. Amare ke kamar dulu ya," pamit Amare.

Amare berbalik menuju tangga.

Kakinya sungguh berat, tapi dipaksakannya untuk bergerak. Ini bukan pertama kali Alby memaki Amare dengan kasar. Bahkan, Amare tak dapat lagi menghitung perkataan kasar Alby. Dadanya terasa sesak. Bukanlah salah Alby bila dia berubah. Juga bukanlah salah Ayahnya---Fajar---bila ia berselingkuh. Karena sesungguhnya, Amare yang menyebabkan semua itu. Karena perbuatannya sendirilah, semua jadi tak sama lagi.

Amare terduduk lemas di pojok kamar. Ia mengusap-usap matanya yang mulai berair. Berusaha keras mencegah tangisnya pecah. Ia tidak ingin dipandang lemah, tidak. Ia kuat, karena itu ia tidak boleh menangis. Amare membuang napas kasar, mengingat kembali kejadian yang menyebabkan segala perubahan yang sama sekali bukan didasari oleh kehendaknya.

"Memang benar kata orang, penyesalan selalu berada di akhir. Gue bener-bener mau balikin waktu, tapi gue tau kalo itu mustahil. Bener-bener mustahil."

Amare tersenyum ditengah suasana hati yang seharusnya bersedih. Amare tetap berusaha tegar walau dirinya benar-benar hancur. Amare berusaha kuat, walau ia tau benar kalau dirinya rapuh. Kalau bukan di rumah, setidaknya topeng yang ia kenakan akan terlihat baik di luar sana.

---

Sudah lewat tiga hari sejak Alby memaki Amare. Dan, selama tiga hari itu juga, Alby tidak pulang ke rumah. Khawatir? Tentu saja. Namun, apalah daya Amare. Ia hanya bisa berharap bahwa Alby berada di tempat yang aman. Amare menghela napas panjang. Ia meraih perlengkapan sekolahnya. Setidaknya ia berharap, topeng yang ia kenakan nanti tidak akan terlepas. Ia tidak ingin menyulitkan teman-teman barunya nanti, seperti ia menyulitkan teman-teman lamanya.

Amare berjalan melewati ruang makan. Ia sama sekali tak berniat untuk menoolehkan kepalanya, apalagi menghampiri. Karena rasanya percuma saja ia memakan sarapan paginya seorang diri. Lebih baik, ia makan di kantin sekolah barunya.

"Non, non gak mau makan dulu?"

Amare menggeleng sembari menjawab, "Enggak, Bi. Amare gak laper. Amare berangkat dulu ya."

"Yowes, hati-hati di jalan, Non," balas Bi Imah.

Amare mengangguk, lalu berlalu pergi. Ia menunggu taksi daring yang ia pesan ketika berada di kamar tadi. Amare hanya bisa berharap kalau hari ini semua akan berjalan dengan baik. "Semoga kali ini gue gak nyusahin siapapun," lirihnya.

---

Alby mengerang. Kepalanya terasa begitu berat. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Mengatur cahaya yang masuk ke dalam retina matanya. Ia sedang berusaha mengingat apa yang terjadi kemarin malam. Namun, hasilnya nihil. Ia tidak dapat mengingat apapun jua.

"Lo semalem mabuk berat, lo gak inget?"

Alby mencari sumber suara. Ia mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat itu. Matanya menyipit, memastikan bahwa penglihatannya itu tidaklah salah. Di pojok ruangan, terdapat Rendi yang dengan santainya memainkan putung rokok miliknya.

"Rendi?" tanya Alby tak percaya.

"Ya, ini gue. Berterimakasihlah sama gue. Karena, kalau lo gak gue bawa ke sini, lo pasti sudah berada di balik jeruji besi," terang Rendi.

"Maksud lo?"

"Lo lupa apa yang terjadi semalem?"

Sudah dua hari Alby tak pulang ke rumah. Selama dua hari itu, ia menginap di sebuah motel yang merupakan sarang para remaja yang mabuk. Alby enggan kembali ke rumah. Ah, apakah tempat seperti itu masih bisa disebut rumah? Jujur saja, Alby sudah begitu muak menatap wajah adiknya itu. Alby ingat betul, bahwa semua yang terjadi merupakan salah Amare. Rasa sayangnya kepada Amare sudah hilang. Tergantikan oleh rasa benci yang teramat sangat.

Alby meraih kunci motornya. Ia membutuhkan beberapa gelas whiskey untuk bersenang-senang malam ini. Ia melajukan motornya menuju club yang selalu ia kunjungi tiap dini hari. Persetan dengan aturan di jalan, ia melajukan motornya diatas kecepatan rata-rata. Ia benar-benar merasa suntuk. Tahun ajaran baru akan dimulai seminggu lagi. Tentu saja, Alby berniat membolos untuk seminggu pertama. Namun urung, karena ia tidak ingin mendapat SP untuk kesekian kalinya.

Jalanan begitu lenggang pada dini hari itu. Sejauh ia pergi, hanya terdengar deru mesinnya yang memecah keheningan malam. Sesampainya ia di depan club, ia langsung memakirkan motornya sembarang. Persetan dengan semua aturan konyol itu. Alby berjalan memasuki bar, dengan santai ia melewati security yang telah mengenalnya. Bau alkohol dan dentuman musik yang amat keras menyambut Alby. Alby mengedarkan pandangan, suasananya tiap malam sama saja.

Ia melangkah menuju bar kecil yang berada di club malam itu. Sang bartender, Kai, menyambut Alby dengan sebuah senyuman. "Apa yang lo mau hari ini? Whiskey? Vodka?" tanya Kai ramah.

"Whiskey aja," jawab Alby singkat. Kai mengangguk, kemudian berlalu untuk menyiapkan beberapa botol whiskey untuk Alby.

Alby kembali memerhatikan sekelilingnya. Beberapa wanita jalang terlihat menunjukan lekuk tubuhnya sembari bergoyang. Katakanlah Alby kasar, tapi, bukankah wanita-wanita yang berada di club ini bisa disebut jalang, 'kan? Karena tentunya wanita baik-baik tidak akan berada di club pada dini hari seperti ini. Kai memecahkan lamunan Alby. Ia sudah membawa beberapa botol whiskey yang pasti diteguknya sampai habis.

Dan benarlah, ini sudah botol keempat yang ia minum. Kepalanya terasa begitu berat, tubuhnya mulai lemas, dan penglihatannya mulai mengabur. Kesadarannya sudah hampir benar-benar hilang. Disaat ia sedang mabuk berat, terdengar pintu club didobrak paksa. Alby tidak tau itu siapa dan apa yang terjadi, karena yang ia ingat semua yang ia lihat menjadi hitam.

"Jadi lo berhasi ngebawa gue kabur? Tapi apa alasan lo nyelametin gue, Rendi?" tanya Alby penuh selidik.

Rendi terkekeh pelan, "Ya, pasti lo tau."

Alby menghela napas panjang dan berat, "Apa mau lo?"

Rendi mendekat dan memberikan sesuatu ke Alby. "Coba. Atau kalau lo gak mau coba, lo bisa jual ini. Gue jamin kalau lo jual ini, lo bakal dapat uang banyak." Rendi menyengir, "Jadi gimana, mau?"

---

Hola, hola!
Iya iya aku tau bab ini juga pendek, maafkan aku teman-teman:(
Aku harap kalian tetap suka ya!

Gimana menurut kalian tentang bab ini? Adakah yang membuat kalian penasaran? Adakah sesuatu yang ingin kalian utarakan ke aku atau para tokoh-tokoh di sini? Atau, kalian ada krisar, bisa inline disini yak^^

Sekian untuk minggu ini, sampai jumpa minggu depan! Dahh~

Amare (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang