Bab Tiga

22 15 7
                                    

Amare melemparkan tatapannya ke luar jendela. Ia menghela napas, pikirannya bergelayut kemana-mana. Lebih tepatnya, pikirannya tertuju kepada Abangnya, Alby. Entah dimana ia berada sekarang ini. Apakah ia baik-baik saja atau tidak? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu terlintas dalam benaknya.

Amare keluar dari pikirannya saat sopir taksi daring menegur dirinya. Amare tersenyum, menyerahkan beberapa lembar uang lima-ribuan. Ia turun dari taksi daring. Sejenak, ia memandangi gerbang sekolah barunya. Saatnya ia membuka lembaran baru. Amare menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya.

Amare melangkah masuk. Kakinya langsung berbelok menuju mading yang terletak di sebelah kanan gerbang. Cukup dekat untuk dicapai. Mata bulatnya mencari kelas yang terdapat namanya. X IPS 1, unggulankah? batin Amare. Setelah mengetahui kelas yang akan ditempatinya selama setahun, ia lekas pergi dan mencari kelasnya yang terletak di lantai tiga, bangunan kiri.

Sebuah senyum terulas ketika ia menemukan kelasnya. Amare menarik napas panjang, mendorong pintu kelas yang tadi tertutup. Suasana riuh yang pertama kali menyambut dirinya. Di dalam sudah terdapat banyak murid yang berasal dari sekolah-sekolah yang berbeda. Amare tersenyum, mengambil bangku yang langsung menarik perhatiannya pertama kali. Bangku yang berada di sebelah jendela, tepat di bawah AC. Amare meletakkan tas miliknya, kemudian ia hanya duduk dan memerhatikan lingkungan barunya ini.

Terdapat beberapa murid yang berasal dari sekolah yang sama tengah berbincang ria. Ada juga beberapa murid yang berasal dari sekolah yang berbeda, tapi tampak akrab. Ada juga yang seperti dirinya, duduk sendiri tanpa teman bicara. Sepertinya semua bakal baik-baik aja, semogalah, batin Amare penuh harap.

Pukul 6.30, masih setengah jam lagi menunggu bel masuk. Jujur, Amare seperti mati kebosanan. Di sisi lain, Amare merasa agak canggung untuk memulai pembicaraan dengan beberapa orang yang bernasib seperti dirinya. Ternyata, seperti inilah rasanya menjadi seorang ambivert.

"Boleh duduk disini?"

Amare mendongak, menatapnya sembari tersenyum, "Tentu. Silahkan."

"Makasih." Gadis itu menjulurkan tangannya, "Gue Via, lo?"

Amare membalas juluran tangannya, "Gue Amare. Salken Via."

"Ya, salken juga, Amare," balas Via.

Setelah itu, mereka berdua larut dalam kesibukkan masing-masing. Via dengan novel miliknya, dan Amare dengan ponsel miliknya jua. Setengah jam berlalu, bel masuk berbunyi. Beberapa anggota OSIS masuk ke kelas mereka, satu persatu mereka memperkenalkan diri.

"Lo suka sama Kak Akira ya?" goda Amare.

Via menoleh, memasang tampang 'bagaimana kau bisa tau?'. Amare terkekeh kecil, wajah Via saat terkejut begitu menggemaskan. "Keliatan banget loh, Via. Soalnya lo ngeliatin Kak Akira sambil senyum-senyum," tukas Amare.

Via memastikan, "Sebegitu keliatankah?"

Amare mengangguk dan terkekeh pelan. Wajah Via bersemu merah. Lalu, ia menundukkan kepalanya. Entah karena merasa malu atau apa, Amare juga tak tau. Amare melempar tatap ke depan. Kembali memperhatikan instruksi yang diberikan oleh para kakak-kakak OSIS.

---

Jadwal MOS hari ini tak begitu spesial. Amare menatap lekat-lekat buku putih yang berada di genggamannya. Buku ini berisi panduan-panduan, jadwal, dan apa yang akan mereka lakukan dalam kurun waktu tiga hari ini. Juga, di halaman paling belakang buku, terdapat sebuah tabel kosong. Tabel tersebut harus diisi oleh tanda tangan para OSIS. Dan, tabel tersebut harus terisi penuh.

Amare menghela napas, ia berjalan bersama Via dan anak-anak kelasnya menuju pos permainan pertama. Permainannya bertajuk tentang kekompakkan, begitu ujar guru penjaga pos. Mereka melakukan permainan ini secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari dua perempuan dan tiga laki-laki. Amare langsung mengikuti Via, karena hanya Via-lah yang ia kenal dengan lumayan baik.

"Sebelum saya menjelaskan tata caranya, silahkan kalian berkenalan dan berbincang dengan anggota kelompok kalian. Saya memberi waktu selama sepuluh menit dari sekarang."

Amare dan teman sekelompoknya membentuk sebuah lingkaran dan duduk di tanah; seperti yang kelompok lain lakukan. Anggota kelompok mereka tidak ada yang satu sekolah, yang artinya tidak saling kenal satu sama lain. Satu menit pertama, mereka masih diliputi rasa canggung. Sampai seorang laki-laki dari kelompoknya angkat bicara.

"Kok pada diem?"

Semua mengendikkan bahu. Laki-laki itu menghela napas, "Ok gue bakal kenalin diri gue dulu aja biar ga canggung. Gue Galileo Putra, panggil aja Leo."

Setelah itu Amare memperkenalkan dirinya, lalu diikuti oleh Via setelahnya.

"Gue Ignatius Ryan. Panggil aja Igna," ujar seorang laki-laki yang duduk di sebelah Via.

"Gue Juan."

Leo menoleh ke arah Juan, "Nama lengkap, please."

Juan menghela napas sembari memutar bola mata, "Nama gue cuman Juan aja, please deh ya."

"Ah, sorry-sorry," ujar Leo.

"Kok tiba-tiba gue laper si kampret," gumam Igna.

"Ini baru jam berapa dan lo udah laper, bagus," tegur Juan.

"Perut-perut gue, ngapa lo yang sewot?"

"Lah siapa yang sewot, orang cuman ngomong, baperan!"

"Lo ngomongin gue apa hah?" Nada bicara Igna mulai meninggi.

"Baperan. B A P E R A N!" balas Juan cuek.

"BANGSAT LO!" Igna hendak melayangkan bogeman mentah ke wajah Juan. Namun, untung saja Via berhasil mencegahnya. Dan untung juga, semua kelompok sedang asik sendiri, sehingga tidak mendengar pertikaian kecil tadi.

"Udah-udah jangan rebut elah, kita ini udah SMA!" lerai Leo.

Igna membela dirinya, "Juan yang mulai duluan, bukan gue!"

Amare mengingatkan, "Udah-udah saling maafin aja ngapa si? Bentar lagi permainannya mulai."

Amare dan Via berusaha menenangkan Igna yang menatap tajam Juan. Sedangkan Leo sedang berbicara dengan Juan. Juan dan Igna tidak cocok, mereka berdua tidak dapat disatukan. Kalau tidak, mereka bisa terlibat dalam baku hantam.

Igna menghela napas kasar, mau tak mau ia menyingkirkan egonya sedikit. Ia meminta maaf kepada Juan, walau sebenarnya ia tak mau. Karena, ini bukanlah salahnya. Hanya karena Via yang meminta dirinya berlaku demikian.

Tepat waktu, saat suasana kelompok mereka kembali terkendali, permainan yang bertajuk kekompakkan akan segera dimulai. Mereka mulai mengambil posisi, menyimak tata cara permainannya. Dan syukurlah, mereka berhasil menyelesaikan permainan itu. Walau selama permainan, Igna dan Juan terlibat dalam sebuah adu mulut kecil-kecilan.

"Igna, buku putih lo ketinggalan," teriak Via.

Igna yang sudah beranjak pergi duluan, menoleh dan memutar balik. Ia mengambil buku putihnya dari Via dan berkata, "Makasih."

Via mengangguk dan memberi Igna sebuah senyuman yang manis. Igna langsung berbalik sedetik setelah ia melihat senyum Via. Apakah Igna salah tingkah? Apakah artinya Igna....

---

Hey, hey, hey everyone!
Oke, sekali lagi bab ini isinya pendek. Maaf banget ya, aku sepertinya emang ga bisa nulis panjang-panjang:(

Selamat hari idul fitri bagi yang merayakan. Iya tau telat, tapi gak apa-apa kan? Mending telat daripada enggak sama sekali. Selamat holiday juga ya semua! Yang liburannya gabut, kita jodoh:)

By the way, ayo sambut tokoh-tokoh baru kita! Mari sambut Galileo Putra, Ignatius Ryan, dan Juan! Menurut kalian, bagaimana dengan ketiga tokoh baru ini? Inline disini ya^^

Bagaimana menurut kalian tentang bab ini? Apakah kalian ada krisar untuk bab ini? Atau ada yang mau disampaikan ke aku? #Valenkepedean. Kalau ada inline disini ya^^

See you guys on next Monday! Dadah!

Amare (HIATUS)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon