Bab Lima

25 12 5
                                    

Amare tak keluar dari kamarnya. Alasan pertama, ia tidak ingin bertemu dengan Melinda. Alasan kedua, Amare begitu malas menggerakkan tubuhnya. Amare mengira Melinda akan kembali ke alamnya, tapi nyatanya tidak. Ia mendengar percakapan Fajar dan Melinda saat melewati pintu kamar Amare. Melinda mulai sekarang akan tinggal satu atap bersama dirinya.

Bila Alby mengetahui ini, sudah pasti Alby tidak akan pulang. Kalau pun Alby pulang, adu mulut tak bakal bisa dielak. Dan setelah itu, ia pasti akan pergi dari rumah. Amare mengusap wajahnya kasar. Bagaimana ia akan bertahan sekarang?

Saat Amare masih bergelut dengan pikirannya, pintu kamarnya dibuka. Tanpa diketok, tanpa permisi.

"Amare, makan dulu yuk, Nak. Kamu dari pulang sekolah belum makan loh."

Amare mendengus. Yang masuk ke kamarnya tak lain dan tak bukan adalah Melinda. Amare rasanya ingin sekali meneriakki wanita itu. Namun, ia masih menaruh hormat kepadanya, karena Melinda jauh lebih tua. Bukan karena Amare menerima kehadiran Melinda.

Masih dengan sopan, Amare menjawab, "Saya gak laper, makasih."

"Walau gak laper, tetap harus makan dong. Nanti sakit gimana?"

Kembali, masih dengan nada sopan, Amare menjawab, "Saya tidak lapar, Anda masih tidak mengerti ucapan saya? Atau apa saya harus menggunakan bahasa Inggris?"

Saat Melinda hendak membuka kembali mulutnya, Amare menyela, "I'm not hungry, Madam Melinda."

Amare sengaja menggunakan kata Madam, karena dalam mimpi pun ia tidak akan mau memanggil Melinda mama.

Melinda terbisu. Ia tidak lagi mencoba untuk membujuk Amare. Melindah mendesah pelan, melangkah keluar dari kamar Amare. Melinda sebenarnya bingung. Pada awalnya ia mengira bahwa Amare menerima dirinya. Namun, nyatanya tidak. Amare juga menolaknya, secara halus. Berbeda dengan Alby yang benar-benar menunjukkan penolakkannya.

"Aku bakal ngerebut hati kedua anak itu, bagaimana pun caranya. Karena, aku akan menjadi orangtua mereka."

Kali ini, Melinda harus benar-benar memutar otak. Pertama-tama, ia harus bisa meluluhkan hati Amare. Karena menurut analisis sikap Amare, Amare tidak terlalu membenci dirinya. Sehingga, mungkin akan lebih mudah menerapkan pendekatan secara psikologi terhadap Amare.

Dari awal bertemu dengan Amare, Melinda tau, bahwa hati anak itu mudah luluh. Dalam beberapa tahun terakhir ini, Melinda lebih sering memperhatikan gerak-gerik Amare. Anak itu lebih suka mengungkapkan perasaan lewat tulisan daripada pembicaraan. Anak itu agak susah bergaul dengan orang asing. Anak itu lebih merasa nyaman bila ia sendirian.

Setidaknya, dalam otaknya sudah terlintas beberapa cara untuk mendekati anak itu. Yang mana akan menjadi anak tiri Melinda.

---

Kai menatap Alby iba. Kondisinya sudah begitu parah, tapi Alby masih bersikeras untuk menambah satu botol soju. Tak biasanya orang ini memesan soju. Entahlah apa yang terjadi pada Alby, Kai tidak tau.

Kai mengernyit ketika Alby memberinya kode untuk menambah lagi. Cukup, keadaan Alby sudah cukup---tunggu, bukan cukup, tapi benar-benar---parah. "Lo beneran masih mau minum? Keadaan lo udah bener-bener parah," tegur Kai.

Alby berdecak, "Yaudah kalo gak mau ngasih." Alby mengeluarkan beberapa lembar uang, meletakkannya diatas meja bar. Alby bangkit, walau ia tau kesadarannya semakin menipis, ia tetap nekat untuk pulang. Ia merasa tubuhnya seperti melayang, hingga ia tidak bisa berjalan dengan benar.

Kai hendak membantu, tapi Alby mengangkat sebelah tangannya. Menandakan bahwa ia tidak ingin dibantu. Dengan berbekal kesadaran yang masih ada, Alby menghidupkan motornya. Deru suara motor miliknya memecah malam. Dewi Fortuna sedang berada di pihak Alby. Karena, ia sampai ke rumahnya tanpa lecet sedikitpun.

Namun, Dewi Fortuna hanya menemaninya dalam perjalanan pulang. Baru saja ia mematikan mesin kendaraanya, suara bass milik Fajar sudah mengalun masuk indra pendengaran Alby.

"Dari mana saja kamu? Sudah pukul berapa ini? Mau jadi apa kamu nantinya?"

Alby tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Fajar, dan dengan sengaja menyenggol bahu milik Fajar. Bau alkohol begitu kentara saat Alby melewati dirinya. Fajar menahan tangan Alby yang membuat Alby berbalik. Menatap Fajar.

Dengan suara yang intens, Fajar bertaya, "Kamu minum?"

"Kalo iya kenapa? Masalah buat lo?"

Fajar naik pitam. Kelakuan Alby sudah di luar batas. Fajar masih bisa memaklumi bila Alby menghindari dirinya dan Melinda. Namun, dengan minum-minum? Tidak, Fajar tidak dapat memakluminya. Wajah Fajar merah padam, ia mengangkat tangannya terhadap Alby, putranya sendiri.

"Kenapa? Mau nampar gue? Ayo, tampar!"

Fajar menuruti kemauan putraya. Sebuah pukulan yang membuat bekas merah di pipi Alby. Namun, hal itu tidak membuat Alby meringis sedikitpun, apalagi menyesal. Alby menaikkan sebelah alisnya, menatap Fajar yang masih dikendalikan oleh emosi.

"Udah? Puas?" Tanpa mendengar jawaban Fajar, Alby menepis tangan Fajar yang memegang tangannya. Ia melangkah masuk dengan santai, seolah tidak terjadi apa-apa.

Sementara itu, Fajar terdiam. Ia bingung, mengapa Alby bisa berubah sedrastis ini. Dulu, Alby adalah anak yang begitu baik dan penurut. Dulu, Alby adalah anak yang bahkan tidak pernah menyulut emosi kedua orangtuanya. Kemana Alby yang dulu Fajar kenal? Mengapa anaknya itu bisa berubah sedemikian rupa?

---

Pagi ini, Amare begitu malas untuk sarapan pagi. Karena, Melinda pasti berada di sana. Dan, Amare tidak ingin berada satu meja dengan wanita itu. Maka dari itu, kemarin malam Amare berpesan kepada Bi Imah untuk memasukkan sarapan Amare di kotak bekal saja.

Saat berada di anak tangga terakhir, Melinda menyapa Amare dengan suara lembut. Amare hanya membalas dengan sebuah senyum yang tidak tulus. Setidaknya ia membalas sapaan wanita itu dari pada tidak, 'kan?

Amare langsung mencari Bi Imah. Bi Imah menyerahkan kotak bekal Amare, sembari bertanya memastikan, "Non beneran gak mau sarapan di sini aja? Non kan bisa sarapan di kamar."

"Beneran, Bi. Amare berangkat dulu ya," pamitnya.

Amare hendak berjalan menuju gerbang, menunggu taksi daring yang ia pesan. Suasana hati Amare pagi ini tidak terlalu buruk. Namun, Melinda datang dan menghancurkannya.

"Gak mau pamit sama Mama?"

Amare menoleh, menatap bingung wanita itu. "Pardon? Mama? You aren't my Mama, Madam Melinda."

"Stop calling me Madam. I'll be your Mama. Bisakah kau sopan sedikit?"

"Ah sorry Madam, ups, I mean Melinda. Perlu Anda ingat, bahwa Mama saya adalah Mama Amanda. Dan jangan Anda kira saya akan mudah luluh dengan Anda. Jangan terlalu pede karena saya tidak sefrontal Bang Alby dalam menolak Anda. Selama ini saya bersikap sopan hanya karena Anda jauh lebih tua, bukan karena saya menerima kehadiran Anda."

Melinda terdiam. Seluruh perkiraannya ternyata salah total. Sorot mata anak itu benar-benar menunjukkan sebuah keseriusan. Ia salah mengira bahwa Amare bersikap sopan kepadanya karena anak itu mulai menerima kehadirannya.

Melinda bergeming. Bahkan setelah Amare menaikki taksi daring yang dipesannya, Melinda masih mematung. "Sial, kalau begini semua akan berantakan. Semua yang sudah tersusun akan kacau."

Melinda menggepalkan tangannya, hingga buku-buku kukunya nampak. "Amare harus diberi pelajaran yang akan selalu dia ingat."

Melinda mengeluarkan ponselnya, menghubungi sebuah nomor. "Gue butuh lo."

---

Hai semua!
Bagaimana nih menurut kalian tentang bab ini? Drop krisarnya dong, aku masih butuh kritik saran dari kalian. Karena, aku masih pemula.

Aku gak tau mau nulis apa lagi:v
Segitu aja ya untuk minggu ini, sampai jumpa minggu depan semua!

Annyeong👋🏻

Amare (HIATUS)Where stories live. Discover now