Pengelana

9.6K 1.5K 254
                                    

Sebuah gubuk teronggok jauh di pedalaman. Seorang pemuda pengelana tengah mengembara, kemudian ditemuinya gubuk itu. Pintu kayu yang telah lapuk ia ketuk sedemikian lembut. Menumpuk harap makhluk di dalamnya sudi berbaik hati untuk Sang Pengelana melepas dahaga.

"Permisi, ada seseorang di dalam?"

Tak ada jawaban.

Lalu rintihan pedih membalas dari dalam.

Sang Pengelana tertegun.

"Apakah ada seseorang?" tanyanya lagi.

Rintihan bertabuh isak. Mendapat jawaban akan adanya kehadiran manusia di dalam gubuk, pemuda itu menyentuh pintu lapuk, pintu berayun membuka. Tak terkunci. Barangkali yang akan ditemuinya hanya bayang-bayang belaka? Namun, setelah pintu terbuka, ruang berbilik tunggal hanya menampakkan satu ranjang reyot berjamur di tengah ruang beralaskan tanah.

Segeliut makhluk bergelung mengurung diri dalam selimut. Tubuhnya bergetar, napasnya tersengal dan merintih. Tangis tak bersuara menyayat hati Sang Pengelana. Takut bercampur pilu menguapkan dahaganya. Melawan gentarnya sendiri, ia lantas melangkah dan menghampiri ranjang tua yang bergoyang tertiup angin.

"Permisi." Sang Pengelana menyentuh tubuh makhluk itu. Gelenyak basah merambati selimut, menembus hingga ke kulit sang Pengelana. "Ada apa? Mengapa kamu bersembunyi? Tempat ini lembap, tubuhmu dapat basah dibuatnya."

"Bukan aku!" erang makhluk itu parau dan menggila. "Mereka telah membuatku begini! Mereka!" Marah, malu, dan keputusasaan teraduk dalam nadanya. Makhluk itu jelas manusia, tetapi rupanya yang belum tampak membuat sang Pengelana sangsi akan apa yang disaksikannya.

"Mereka? Siapa?"

Manusia malang itu menangis, menjerit dan merapatkan gelungan dalam selimutnya. Mendamba dan merindu pada asa. Semakin tersedulah tangisnya.

"Biarkan aku memandang rupamu, makhluk malang," hibur sang Pengelana.

"Tidak!"

Sang Pengelana mendekatkan tubuhnya. "Aku takkan menghina, aku berjanji."

Isakan tak berhenti, tetapi tangisnya mereda. Kain selimut perlahan meluncur turun dari tiap sudut tubuh manusia di dalamnya. Bau busuk dan anyir menguar. Tidak, belum seburuk itu. Makhluk malang lalu melepas perlahan selimut yang membungkusnya, hingga terpampang jelas rupa, wajah, dan seluruh apa yang ia tangisi. Pengelana kini menyaksikan sebongkah kehinaan.

Wanita dengan kulit yang setengah mengelupas. Darah dan nanah mengalir seinginnya, mata cekung dengan bola mata yang muak bertengger, rambut tipis telah habis, kulit kepala nan berjamur terpancang bagai najis. Tulang tak berdaging dan tubuh tak layak hidup. Dia benar-benar hina dan tak berharga. Segulir air mata bergulir pada pipinya yang lebam.

Hati Sang Pengelana teriris. Perempuan di hadapannya tiada lagi ber-raga. Tiada pantas baginya sebenih pun perkara fana menyentuh. Dia tinggal menunggu mati.

Sang Pengelana mendekat. Jemari kasar itu bergerak menyeka air mata di pipi kering sang wanita.

"Siapa yang melakukan ini? Siapa Mereka?" tanyanya.

"Mereka," isak sang wanita.
"Mereka yang senantiasa berbuat curang,

mereka yang mencuri,

mereka yang melepas mahkota keperawanan,

mereka yang membuat janin tanpa ikatan,

mereka yang menyesap, menghirup, dan menusukkan kematian,

mereka yang mengubur darah daging sendiri,

mereka yang senantiasa menumpuk harta gelap dalam perutnya,

menista penduduknya,

mencabut nyawa,

dan melenyapkan nama Tuhan dari nadi mereka!"

Wanita buruk rupa memekik kesakitan, lalu sayatan besar menggores punggungnya. Darah kental mengalir perih. Ia kembali merintih, meringkuk dalam jerit, meremas tangan Sang Pengelana tanpa ampun.

"A-apa yang terjadi dengan punggungmu?"

Sang wanita berjengit. "Mereka melakukannya lagi. Pemimpin biadab yang membinasakan penduduknya, menyebar benda kimia hingga makhluk-makhluk tak bersalah bergelimpang dalam nestapa."

"Bajingan." Sang Pemuda menatap nanar luka di punggung wanita.

"Biarkan aku mati," mohon makhluk buruk rupa itu. "Biar tiada lagi kebaikan di dunia, biar lenyap segala cahaya dan nurani di neraka fana ini. Biarlah mereka melakukan sesukanya hingga kehancuran abadi menimpa. Aku tidak sanggup, wahai Pemuda. Aku tidak sanggup!"

Sang Pemuda bimbang. Tiada pasti siapa atau apa yang dihadapinya saat ini. Memberanikan diri, ia pun menatap dalam mata sang wanita malang, lalu bertanya.

"Siapakah kamu, wahai kebaikan?"

Wanita itu tak lagi mampu tegak. Ia hanya menatap sang Pemuda dan berkata,

"Aku adalah Kejujuran."

Sebuah gada besi bagai menghantam tengkuk Sang Pengelana. Bila sebuah kebaikan telah serapuh ini, maka kebaikan mana lagi yang sanggup menopang kejahiliyahan dunia?Kebaikan mana lagi yang menanggung kehinaan paling hina?

"Siapa lagi kebaikan yang merana bersamamu, wahai Kejujuran?" tanya sang Pengelana.

"Ada. Namun ia tiada lagi bertahan. Ia telah mati."

"Siapakah ia, wahai Kejujuran?"

Kejujuran menatap nelangsa sang Pengelana untuk yang terakhir kalinya, lalu ia berkata,

"Dia adalah Ketuhanan."

-

Kepada BumiOnde histórias criam vida. Descubra agora