Perdebatan Dua Kenanga

1.1K 207 23
                                    

Kenanga itu masih kalem-kalem saja sebagai saksi atas kehampaan yang merajai dunia. Yang menggulingkan banyak tahta, memenangkan peperangan sesukanya, tirani tak bernurani yang hadir oleh bisik bumi.

Hanya perlu menunggu waktu untuk kami pergi, ujarnya pada Kenanga suatu ketika.

Tak ada. Sungguh tak ada manusia yang mampu memandang mereka kecuali melalui lubang dengan lensa berlipat-lipat, seolah membuka tabir demi tabir yang menghalangi wujud koloni tirani yang katanya sayang bumi.

Pernah suatu waktu Kenanga berdiskusi. Satu demi satu kawan-kawannya jatuh menghias kuburan yang kian bertambah jumlahnya. Si kuning yang kini buntung memandang ke arah Kenanga. "Sudah lama tak kulihat gundukan tanah ini terbentuk lagi dan lagi, seolah tanpa jeda. Benarkah koloni itu bahkan bisa menaklukan si makhluk adidaya?"

"Ah," Kenanga mengangguk. "Begitu yang kusaksikan."

Seekor anjing melintas, mencari-cari pohon lalu diam di bawah pohon mangga, tiba-tiba satu kaki belakangnya terangkat dan tampaklah air mancur yang kelak 'kan menyuburkan tanah pohon mangga yang terlihat kehausan.

"Awal mula mereka meraja, si makhuk adidaya sesekli tumbang. Jika tidak, mereka akan mengalami sesak napas dan terbatuk-batuk. Lalu mati."

"Mati?"

"Tak semua, tetapi koloni ini memang mematikan."

"Apa kata bumi soal dia?"

Kenanga terdiam sejenak. "Aku tak banyak menahu, tetapi agaknya bumi pun tak menolak kehadiran koloni itu. Konon mereka tersebar dari tubuh binatang yang tak semestinya si makhluk adidaya makan. Yah, dengan begitu, ia berbisik pada bumi: aku akan merajai dunia. Akan kusembuhkan dirimu."

Si Kuning Buntung berguling disapa angin. "Tapi ... tidakkah kehadirannya begitu semena-mena? Ia tak bisa begitu saja menyapu ribuan nyawa sekali duduk. Meski terkadang si makhluk adidaya bebal minta ampun, tetapi tidak sedikit kok dari mereka yang mulia dan justru terdampak, membuat sedih ibu, bapak, serta anak-anaknya."

Kenanga mengedikkan bahu. "Mungkin mereka sudah terlalu banyak."

"Tetap saja!"

"Coba bukalah sedikit matamu, Kuning. Liha langit yang kini menaungimu. Sudah lama ia bermuram durja terutup bubungan asap kelabu, cokelat, gelap menghitam. Kebisingan jalanan seringkali membangunkan kucing-kucing yang tengah tertidur di padang kuburan ini, dan tak jarang kebisingan itu datang bersama debu-debu racun yang membuat kita kotor. Tapi sekarang? Langit cerah membiru, jalanan sepi, para makhluk adidaya mulai belajar untuk saling peduli dan menyayangi—meski tidak semua. Tapi ...barangkali kehadiran koloni itu memusnahkan banyak jenis manusia tak ada guna di dunia?"

"Sembarangan mulutmu! Aku sering tak tega melihat tangis yang turun dari air mata para pengantar sekeranjang kenanga yang tak bisa hadir di penguburan sanak saudaranya. Mereka orang-orang baik, Kenanga. Bahkan tak sedikit dari mereka yang gugur sebagai pasukan garda terdepan melawan koloni tiada ampun itu."

"Intinya, segala sesuatu yang terjadi bukan tanpa alasan. Kita tunggu saja sampai koloni itu puas dan pergi."

Tiba-tiba Kuning dan Kenanga mendadak bungkam oleh kehadiran yang hanya mereka dapat melihat. Berbondong-bondong, melayang di udara, mengiringi tubuh kaku yang terbungkus plastik menuju liang baru. Lalu orang-orang berpakaian tertutup memasukkan tubuh berbalut plastik itu. Sekumpulan koloni mengambang, namun terdiam. Lalu mereka menundukkan kepala, turut memanjatkan doa.

***

[ KIRA ] - Ah entahlah, ku merasa bobrok untuk cerpen ini. Silakan kritiknya.

Kepada BumiWhere stories live. Discover now