Manusia

2.9K 600 73
                                    

Kami melolong.

Seraya beradu pandang dengan purnama, kami melolong.

Aku bersama bapakku di atas batu yang mencelat dari tanah, ibu dan sanak saudaraku. Kami adalah kawanan yang tangguh. Pemburu malam, pengintai siang. Kami tak kenal takut. Lolongan tanpa lagu saling berlaung menantang purnama yang tersenyum.

Aku menjejak kedua kaki, dan melolong paling gagah, menyerupai bapakku.

Kami adalah serigala, pelindung hutan, tingkat ketiga penyeimbang alam.

Kami melangkah bersama-sama. Tanpa suara.

Menggigit yang terjaga, mencabik, dan meregang nyawa binatang di tingkat kedua.

Musuh bukanlah sebab utama kami memangsa, bukan pula kejahatan yang menjadi bayang-bayang kami mengoyak daging yang kami pilih. Kami hidup. kami lapar, maka kami makan. Memangsa adalah fitrah kami, cara kami bertahan di alam rimba.

Konon bapakku selalu bercerita, telah hidup sekelompok makhluk dengan pelita-pelita listrik sebagai penerang habitat mereka. Jauh di sana, di luar hutan. Jangan pernah kau usik, jangan pernah kau ganggu. Sebab mereka adalah pemimpin di muka bumi. kata bapakku.

Tak terbayang wujud mereka dalam kepalaku. Apa mereka seperti elang sang pelintas cakrawala yang agung? Atau paus yang besar dan santun? Atau ... seperti singa yang gagah dan meraja?

Mereka tak seperti elang yang bersayap ganda, tak seperti paus yang besar penuh kemegahan, tak pula seperti singa yang bercakar tajam dan mengaum penuh wibawa. Tak mungkin pula seperti kita, para serigala yang harus hidup berkawan dan hanya mampu melolong untuk menyatakan bahwa kita ada, kata bapakku lagi.

Lantas, bagaimana rupa mereka?

Bapakku melanjutkannya. Mereka bertubuh semampai, bertangan dan berkaki dua, memiliki mata yang indah dan tajam, hidung beragam rupa, serta bibir yang dipakai berbahasa. Begitu sempurna. Lebih dari itu, mereka memiliki mukjizat yang tak satu binatang pun miliki.

Aku bertanya: apa?

Akal. jawab bapakku. Pembeda dari kita yang tak bisa memilih jalan kehidupan.

Agung benar. Pantas mereka jadi bidak-bidak pengubah peradaban di muka bumi. Pemimpin berdaya pikir tinggi yang takkan mungkin kupahami. Apa gerangan nama makhluk-makhluk mulia itu?

Mereka disebut-sebut bernama manusia. lanjut bapakku kala itu.

Kami kembali mencabik, mengoyak, dan berburu demi menyeimbangkan kehidupan di hutan.

Suatu hari aku dan ibu tengah menjilati air sungai di siang hari. Kami tak lapar. Sehingga kami biarkan kelinci dan rusa berkeliaran sesuka mereka. Tiba-tiba berlari seekor musang, kalang kabut wajahnya, menangis rautnya. Ia melompat dari satu dahan ke dahan lain dan berteriak hingga serak, "Hangus! Semua hangus! Lari! Lari!"

"Apa yang terjadi?" tanya ibuku disela-sela keterbataan musang.

"Hutan ini dibakar! Rumah kita dibakar!"

Rusa dan kelinci yang melintas menaikkan kedua telinga mereka. Mengendus-endus hidung mungil ibu kelinci yang gemuk. Aku dan ibuku menoleh ke arah di mana langit menggelap bukan oleh terbenamnya matahari. Asap hitam membubung ke ujung cakrawala, sementara sesuatu yang marah tengah merah membara di kejauhan.

Rumahku.

Kawananku.

Rusa remaja buru-buru berlari pada keluarganya, pun sang ibu kelinci yang langsung melompat tanpa jeda menuju anak-anaknya. Aku dan ibuku melepas sungai ketika kurasakan airnya mulai memanas. Kami harus kembali ke dusun kami—

Sebutir peluru menusuk kaki ibuku.

Kami tersentak.

"Lari!" ibu memekik.

Aku kehabisan kata-kata. Mendahului ibuku yang mulai tertatih, kami berlari. Aku terus menerus menoleh ke belakang; melihat ibuku, dan ke depan; mencari bapakku.

Satu dari kerabatku muncul dari semak. Ekornya terbakar. Ia melihatku dan ibuku. Lalu kami berlari bersama. Ia melolong, mengumpulkan kawanan, memberi tahu bahaya bencana. Api mulai melahap-lahap daun dan pepohonan. Tumbang satu per satu mereka yang menangis dan saling mendoakan. Hangus tanpa menyisa gelondongan.

Sesuatu yang besar dan bersuara keras melayang di atas kami. Baling-baling yang berputar amat cepat bertengger di kepalanya. Lalu selesat peluru kembali menusuk serigala berbulu paling indah di hutan; ibuku.

"Ibu!"

Darah mengalir dari lehernya. Ia tumbang membelalakkan mata. Ternganga, pucat tanpa kata-kata.

Aku melongok ke atas. Makhluk apa itu?! Betapa biadab!

Kerabatku melolong kembali dan menarik kakiku untuk terus berlari. Aku tak dapat mengelak. Aku melolong halus memanggil ibu, tetapi serigala betina itu tak kunjung terbangun. Tak lama, makhluk berbaling-baling itu merendah dan mengulurkan jaring, membawa ibuku entah ke mana.

Kami tak urung berlari menjauhi kebakaran hutan.

Di mana bapakku?!

Kami hanyalah makhluk-makhluk bumi yang tinggal di rumah sendiri. Bahkan mentari tak bersinar semengerikan bola api, tetapi mengapa rumah kami terlalap api?! Apa yang sebenarnya tengah terjadi?!

Aku dan kerabatku tiba di dusun. Hangus. Segalanya hangus. Ketakutan merajai kami, segera keempat kaki kami berlari ke sana kemari, mencari-cari siapa yang juga mencari kami.

Aku berlari ke selatan. Pamanku, sepupuku, mereka bergelimpangan menghitam dan mati. Panas mulai menggerayangi, mataku perih. Aku melolong. Tersaut lolongan kecil di sudut kiri. Aku datang menghampiri, dan kulihat adik-adikku tengah berpelukan, rontok bebulu mereka, melepuh kulit-kulit di perutnya. Air mata membasahi tubuh yang kini menempel akibat meleleh. Mereka memanggilku.

Api mengelilingi kami.

Aku melolong sendu. Air mata mengalir sampai ke hidungku. Kurengkuh ketiga tubuh kecil itu dengan leherku yang berdebu. Hingga salah satu dari mereka menjilat pipiku penuh kasih sayang. Lalu ketiga adikku kaku.

Sebongkah kayu berkerotak dari atas, pohon di atas kami akan runtuh. Insting menarikku mundur, dan kayu berapi itu jatuh meinmpa adik-adikku hingga putus satu kaki dari mereka.

Ke mana kerabatku tadi?

Belum sempat aku melarikan diri, hutan ini sudah nyaris kalah, api menguasai hampir setiap belahan, dan kini mengelilingi dusunku tanpa celah 'tuk menyelamatkan diri.

Lolongan keras yang terkaing-kaing meraung dari arah lain. Aku berlari ke arahnya semampuku, sayangnya aku tak mampu. Kakiku terbakar. Lebih dari yang kuderita, kini kupandangi kerabatku melolong meminta ampun, tubuhnya menggeliat panas sementara mulutnya senantiasa menasbihkan Pemilik Semesta, hingga tenggorokannya tak lagi mengeluarkan suara.

Aku berlari dengan kaki yang melepuh, lalu kutemukan pahlawanku.

Di sana, untuk pertama kalinya, kulihat bapakku yang tangguh, terbujur kaku dengan taring menancap di tubuh seongok makhluk yang tak pernah kukenali sebelumnya. Bertangan dua, berkaki dua, memiliki rupa yang indah dan tubuh semampai. Sekarang aku tahu. Dialah manusia.

Tetapi mengapa bapakku menerkamnya?

Hujan turun. Deras. Sangat deras.

Luka bakar di kakiku menyejuk. Derita yang dialami hutan ini seketika terhenti, tepat ketika tubuhku tumbang tak sadarkan diri.

Malam itu, purnama kembali terjaga. Kami saling bertatapan. Masih di tengah hutan, di atas batu yang mencelat dari tanah, aku bersimpuh. Tiada lagi pepohonan hijau dan udara sejuk. Segalanya gersang, panas dan rata dengan tanah. Purnama menyaksikan bumi lagi-lagi tenggelam dalam duka. Alangkah mengecewakannya mereka; para pemimpin muka bumi.

Mereka telah membuat kami percaya, dan harapan kami diluluhlantakkan begitu saja.

Aku bangkit dari simpuhku, berdiri meski timpang, lalu melolong, mengadukan segalanya pada purnama. Tanpa lolongan lain, tanpa sahutan lain. Aku melolong sendirian, bersama air mata dan doa yang kuharap mereka balas dengan lolongan dari alam yang lebih baik di sana, tanpa para pemuka yang tak bisa dipercaya; manusia.

-

Kepada BumiWhere stories live. Discover now