Munir

3.2K 649 55
                                    

-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

Cerita ini saya buat dalam rangka pemenuhan tugas membuat cerkan semester lalu.
Mengandung unsur politik, tetapi perlu digarisbawahi bahwa cerpen ini sebatas fiksi, data yang terkandung, saya adopsi berdasarkan berita yang ada, sementara saya sendiri menyuarakan ide saya dengan menjadikan Pak Munir sebagai sudut pandang pertama.
Jadi, perlu dipahami bahwa cerpen ini didominasi oleh isi kepala saya, bukan Pak Munir.
Dibuat tahun 2018 beserta data yang ada.

-

Seluruh ujaran warta di Indonesia menyatakan kematian saya jatuh pada 7 September 2004 di atas kapal terbang Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974. Sungguh disayangkan, sebab kala itu saya tengah dalam perjalanan menempuh pendidikan pascasarjana ke Amsterdam. E lha dalah, dua jam sebelum kedua kaki saya menapak tanah Belanda, saya ditakdirkan meregang nyawa.

Tentu ada sebab di balik akibat, ada reaksi di balik aksi, dan ada tanda di balik perkara. Cukup tandas ketika saya tahu bahwa kematian saya disebabkan oleh sebuah kesengajaan.

Saya diracuni. Begitu yang saya dengar.

Terkandung senyawa arsenik dalam mi instan yang saya santap, yang ternyata dalam kadar fatal. Kurang ajar. Jika saya masih mengembuskan napas, sudah pasti satu kapal terbang saya obrak-abrik dan saya pereteli satu per satu hingga saya menemukan siapa yang berani-berani meracuni seseorang yang berusaha menegakkan kebenaran. 'Dibunuh karena benar' begitu slogan yang saya amati beredar selepas kematian saya.

Suciwati, istri tercinta, entah gadam seberat apa yang kelak 'kan menimpa ulu hatinya jika ia tahu tulang rusuknya pergi tanpa kembali. Begitu banyak rupa-rupa dendam dan gejolak yang membara dalam hati saya atas ketidakadilan dan kepandiran orang-orang tolol yang masih saja bertebaran di Indonesia. Indonesia sudah kelebihan muatan untuk orang-orang tolol! Tak dapatkah kalian saya pitas satu-satu?!

Ya Tuhan! Untung barusan bisikan doa Suciwati mengalun lembut menembus gendang telinga. Redam sudah amarah terpendam yang kian lama kian menggelitik hasrat untuk membalikkan Pegunungan Jayawijaya.

Baik. Kalau begitu, mari kita kayuh perlahan-lahan rakit sederhana ini di atas muara kehidupan saya yang tak berhilir.

Saya Munir Said Thalib. Orang-orang kerap mengenal saya sebagai aktivis Hak Asasi Manusia di Indonesia. Sebetulnya, label itu ada karena adanya penamaan lembaga saja. Tiap-tiap insan pasti punya kemampuan dan intuisi untuk menegakkan sesuatu yang lurus. Hanya perihal kesadaran saja.

Kematian saya meninggalkan duka dan ketersinggungan mendalam bagi keluarga saya. Baik kandung, maupun kawan-kawan Kontras-organisasi Hak Asasi Manusia yang saya buat. Hal tersebut tentu beralasan. Saya dibunuh oleh sebab dan alasan yang menyatakan saya terlalu banyak mengkritik pemerintah. Wah, wah, saya hanya bisa angkat tangan seraya geleng-geleng kepala. Siapa yang membodohi siapa sebenarnya? Kata apa lagi yang lebih tepat untuk menggambarkan kasus ini ketimbang 'ketimpangan politik'? Pembunuhan? Itu sih absolut. Ketidakadilan ini yang menarik emosi keluarga-keluarga saya hingga ke ubun-ubun.

Kepada BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang