Chapter 32☑️

5.2K 402 8
                                    

Don't forget to give a vote⭐️

Setelah berpakaian rapi, aku segera menuju lantai bawah untuk menemui kedua orang tuaku. Pagi ini, aku kembali ke Korea mengingat pekerjaanku dan Jimin yang sudah menumpuk. Meski ini perusahaan ayahku sendiri, aku tetap profesional. Kami juga tidak bisa meninggalkan Jiya terlalu lama, aku pun sudah merindukannya.

Terakhir aku bertemu dengan saat kami pergi ke makam Taeyeon lebih dari seminggu lalu. Aku ingin segera memeluk dan menciumnya. Diriku masih tidak menyangka bahwa ternyata Jiya adalah anak Taeyeon.

Aku dan Jimin sudah sepakat untuk mempertemukan Jiya dengan ayah kandungnya. Walaupun, saat awal kehamilan, kekasih yang sudah menghamili Taeyeon tidak menerima bahkan menyuruh untuk menggugurkan anaknya sendiri. Tega, sangat tega. Taeyeon tidak menuruti kemauan gila kekasihnya itu. Dia bertekad akan membesarkan bayinya, meski tanpa seorang ayah.

Namun, setelah mengetahui Taeyeon meninggal, kekasih Taeyeon tersebut sangat menyesal. Terlebih saat mengetahui anaknya yang dikandung Taeyeon meninggal, ia sangat sedih. Ia menyesali perbuatannya dulu yang tidak ingin bertanggung jawab.

Kulangkahkan kakiku menyusuri tangga, terlihat kedua orang tuaku yang sedang duduk di ruang tengah. Aku segera menghampirinya. Mereka yang menyadari kehadiranku langsung bangun dari kursi dan mendekatiku. "Tak ingin lebih lama disini?" ujar ibuku sambal menatapku dengan raut sedih. Sejujurnya, aku masih ingin lebih lama disini. Tapi, apa boleh buat? Aku juga mengerti ibu yang enggan merelakanku kembali, ia rindu dengan putri semata wayangnya.

Aku membalas menatap ibuku, "sebenarnya, iya." Ucapku dengan wajah sedih.

Melihat kedua wanitanya sedih, ayahku segera memeluk tubuhku beserta ibu, "sudah, jangan bersedih. Nanti kami yang akan mengunjungimu di Korea," jelas ayahku yang membuat diriku senang.

"Pak, ada tamu di depan," ucap salah satu pelayan di rumahku.

Aku langsung mengambil tasku dan menatap kedua orang tuaku bergantian, "itu pasti Jimin." Gumamku. Kami berjalan keluar untuk menemui Jimin, dan benar saja ia sedang berdiri dekat mobil dengan gagahnya.

Melihat kehadiran kami, Jimin langsung membungkukkan badannya serta melepas topi dan masker yang ia kenakan.

Dengan berat hati, aku harus kembali meninggalkan kedua orang tuaku dan kakakku yang sudah pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan. Dia sama sepertiku, yaitu bekerja pada kantor yang ayahku miliki. Aku memeluk ibuku erat dan ia membalasnya, "aku akan merindukanmu, Mom."

Setelah dengan ibuku, aku beralih memeluk ayahku. Ayahku menatapku dan mencium keningku, "jaga diri baik-baik," perintahnya seraya mengelus lembut rambutku. Aku hanya mengangguk mengerti Lalu melihat Jimin yang tampak tersenyum, tapi ku tahu ia bingung dengan ucapan yang aku dengan orang tuaku ucapkan, karena kami menggunakan Bahasa Indonesia.

"Valerie berangkat dulu,"

Ayahku mengangguk dan menatap Jimin, "take care of my girl, okay?"

"Of course, Mr. Johnson." Jawabnya antusias.

Usai berpamitan aku dan Jimin segera menuju bandara. Kami berdua duduk di jok belakang dan ntah supir darimana Jimin ditugaskan untuk membawa kami dengan Marcedes ini. Jimin membawa tubuhku untuk mendekat padanya dan meletakkan kepalaku bersandar pada dadanya, aku pun segera melingkarkan tanganku pada pinggangnya. Ia  mencium puncak kepalaku sambal mengusap rambutku pelan dengan posisi mendekap tubuhku erat.

"Aku mencintaimu," kepalaku langsung mendongak menatapnya dengan tatapan terkejut. Ia baru saja mengatakan perasaannya dalam Bahasa Indonesia. Mulutku menganga dan ia hanya terkekeh. Ah, priaku sangat menggemaskan.

CONNECTED [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang