Hello, Mello! | 8

40.1K 5K 2.7K
                                    


Nunggu nggak? Hehe. Happy reading.🖤
***

Arin baru saja turun dari boncengan Angga, adik laki-lakinya itu masih cemberut saat membuka helmnya. Lalu lehernya memanjang, seperti mencari seseorang saat baru sampai di sekitar parkiran Kampus Respati.

"Nyari siapa, sih?" tanya Arin seraya menggantungkan helm yang tadi dikenakannya di kaca spion motor.

"Gebetan gue lah," sungut Angga. "Berkat lo, gue hari ini nggak punya alasan untuk boncengin dia. Seneng lo?"

Arin hanya mengernyit.

Sebelum berangkat menuju Kampus Respati tempat diadakannya turnamen voli SMA se-Jakarta Timur, Arin meminta izin dulu pada Mama. Ketika Arin bilang tempat tujuannya, Mama tiba-tiba menodong Angga yang katanya juga akan berangkat ke tempat yang sama.

"Ya udah, bareng aja sama Angga! Angga juga mau nonton turnamen voli katanya ke Kampus Respati, yang di Bambu Apus itu, kan? Sekalian boncengin kakak kamu nih!"

Angga sudah memberikan kode pelototan pada Arin, lalu mengibas-ngibaskan tangan, yang mungkin artinya, "JANGAN MAU, PLIS! GUE MAU BONCENG GEBETAN GUE!" Namun, Arin mana mengerti dengan kode absurd itu, kan?

"Makasih lho, Rin. Berkat lo, gebetan gue udah sampai, naik OJOL katanya," ujar Angga seraya menatap layar ponselnya, tersenyum sinis.

Arin berusaha menoyor kepala belakang Angga yang sudah berjalan di depannya. Namun, karena tinggi tubuh Arin hanya sebatas pundak adik laki-lakinya itu, ia hanya berhasil mendorong tengkuknya. "Eh! Kalau gue tahu, gue juga nggak akan mau lo boncengin! Gue juga tadinya mau naik OJOL kalau Mama nggak nyuruh! Salah sendiri lo nggak terus terang, malah main kode-kodean!" bentak Arin seraya membuntuti langkah Angga.

Angga hanya berdecak, lanjut berjalan.

"Ngaku suka Twice lo berani, giliran ngaku punya gebetan aja lo, cupu!" cibir Arin.

"Lah, lo sendiri? Selama ini bilang nggak sama nyokap suka sama Adra?" balas Angga.

Arin menggertakkan gigi. "Baliknya nggak usah nungguin gue! Gue bisa balik sendiri! Lo nggak usah-Angga! Dengerin gue nggak sih lo?" Arin menghentakkan kaki saat melihat Angga seolah tidak peduli dengan semua ucapannya dan melangkah lebar-lebar meninggalkannya di depan sana.

Sekarang, Arin celingak-celinguk, sendirian di antara lalu-lalang mahasiswa di kampus itu. Sejenak ia menepi, meraih ponsel untuk memberi kabar pada Raya dan dua temannya yang lain tentang keberadaannya. Tadi ka melewati pintu masuk 2, karena harus ikut Angga yang memarkirkan motor, sementara teman-temannya yang lain masuk melalui pintu utama.

Jadi, untuk beberapa saat ia harus mencari keberadaan teman-temannya.

"Lho, Angganya mana?" tanya Raya ketika melihat Arin melangkah menghampiri tiga temannya di dekat pintu masuk lapangan voli indoor.

"Nggak usah tanya kutil dugong itu, deh. Kesel gue." Arin yang mendekat langsung dirangkul oleh Adis dan Lita.

Raya berjalan paling depan, ia berusaha masuk ke tribun yang sudah sesak oleh penonton, langkahnya memimpin dan membuka jalan untuk ketiga temannya di belakang.

Tribun yang mereka tempati sekarang disediakan khusus untuk pendukung SMA 72, sementara pendukung dari SMA lain ada di tribun seberang.

Entah harus merasa beruntung atau sial, empat kursi yang mereka tempati di tribun sekarang berada tepat di bekalang Jejen, Tama, Ganesh, dan Danar. Katanya, mereka sengaja memesan empat kursi itu untuk Arin dan tiga temannya. Perhatian, kan? Namun tetap menjengkelkan saat beberapa kali Jejen menoleh ke belakang dan menyengir.

Hello, Mello! [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang