Pulang

2K 210 51
                                    

Aku ingin pulang. Ke rumah yang sudah kita ciptakan sepuluh tahun silam. Aku ingin pulang. Menikmati pagi penuh keributan dan malam-malam yang panjang. Aku tidak peduli, aku rindu. Aku hanya ingin pulang.

"Selamat sore para peserta dan hadirin yang berbahagia! Pasti semuanya sudah gak sabar dengerin pengumuman pemenang hari ini, saya bahkan bisa merasakan debar-debar jantung di seluruh penjuru!"

Deven terkikik geli bersamaan dengan gelak tawa yang keluar dari mulut para hadirin, Marsha si MC andalan itu selalu bisa membuat suasana menjadi lebih menyenangkan, setidaknya hatinya juga. Merasa acara disini sudah berjalan lancar, Deven berjalan menuju luar ruangan, memastikan teknisi lapangan dan seksi konsumsi tidak memiliki hambatan.

"Semua udah beres kan?" Deven menghampiri Michelle, ketua teknisi lapangan. Michelle tersenyum sambil mengangkat jempol.

"Eh, seksi acara udah ngomong sama lo?"

"Apa?" Deven menautkan alisnya.

"Ada penampilan rekomendasi dari guru, siapa sih yang waktu itu disuruh duet pas pentas seni? Katanya disuruh sekarang aja tampilnya. Temen deket lo tuh dua duanya, Nashwa gitu ya? Oh iya, Nashwa sama Iden!"

Deven termenung.

"Katanya buat acara hiburan aja sih, mengatasi deg-degan haha. Lagi pula kan si Iden lomba ya tadi?"

Deven tak merespon, hatinya semakin berdesir.

Friden dan Nashwa?

Ia ingat sekarang, mereka berdua memang sempat mengajukan diri dan terpilih untuk mengisi acara pentas seni sekolah. Namun karena satu dan lain hal, pentas seni dialihkan ke akhir semester nanti.

Mengingat kondisi mereka sedang tidak baik-baik saja, Deven menjadi ragu apakah Friden dan Nashwa sama-sama bisa mengatur perasaan mereka demi profesionalitas?

"Heh?" Michelle memegang pundak Deven, membuat cowok itu terkesiap dan tersenyum kaku.

"Ah, ya, nanti gue tanya Putri."

Michelle mengangguk lalu melanjutkan pekerjaannya untuk mengecek piala dan medali. Meninggalkan Deven yang masih berpikir keras.

"Iden sama Nashwa? Astaga!"

.....

"Iya, Bu." Nashwa tersenyum canggung, melirik Friden yang sama-sama tegang. Bu Rossa, pembina kesenian sekaligus penanggung jawab acara ini tersenyum bangga, menepuk dua orang siswa di hadapannya lalu memberi semangat.

"Ya sudah, kalian langsung siap-siap di belakang panggung. Kalau ada apa-apa bilang Deven aja, ya!"

Friden meringis, kenapa semuanya harus jadi seperti ini, sih?

Ia kira, takdirnya sebagai manusia tidak akan seterikat ini dengan sahabat-sahabatnya. Friden kira ia akan mampu menjadi Friden tanpa harus selalu bergantung pada mereka. Tapi di tiap harinya, selama berbulan-bulan Friden terus dibayang-bayangi.

"Wa," Akhirnya Friden memilih untuk mengalah ; menghadap kepada Nashwa dan menatap perempuan itu dengan canggung, "Bisa?"

Nashwa menatap Friden sama canggungnya. Dulu, dialah yang membujuk sahabatnya itu agar berani tampil menunjukkan bakat istimewanya. Tapi sekarang Friden sudah berhasil, tanpa dirinya. Friden sudah mampu berlari jauh lebih kencang bahkan tanpa harus Nashwa genggam.

Lalu sekarang, apa masih perlu?

"Gue udah cukup bangga sama lo, Den."

"Cukup?"

Nashwa bergeming, "Sangat." Lirihnya kaku, Friden tersenyum sendu.

"Lo yang mulai, Wa."

Nashwa memejamkan mata, menarik napas dalam. Ia mengepalkan tangan, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk bisa melakukan ini. Sebab Nashwa masih sungkan ketika paham bahwa Friden pernah menjadikan dia pujaan hati dengan teramat tulus. Sungkan bahwa lagu yang akan mereka bawakan nanti justru mengingatkan Nashwa pada perasaannya untuk Deven tempo dulu.

Pelangi Berjubah Hujan [T A M A T]Kde žijí příběhy. Začni objevovat