Bagian 17

1.9K 374 147
                                    

If you expect nothing from somebody you are never disappointed.


Sylvia Plath, The Bell Jar

•••



Ada saatnya Karina mengelak. Meyakinkan dirinya bahwa dia akan baik-baik saja, mencoba membuat dirinya terlihat lebih kuat meskipun pada akhirnya dia menyerah. Menumpahkan segala emosi yang dia tahan melalui air mata dan teriakan yang hanya bisa dia dengar sendiri.

Ditengah malam, ketika sebagian orang terlelap dengan mimpinya atau mungkin saja ketika sebagian orang larut dalam dentuman musik yang memekakan telinga. Diantara gelapnya ruangan, di antara gedung-gedung tinggi yang menjadi saksi, di antara hingar-bingar suasana kota. Dia sendiri. Berteman sepi dan luka yang semakin menjadi.

Karina ingat, dahulu kala ada seseorang yang pernah berkata seperti ini, "Kalau jatuh sendirian rasanya sakit, kenapa gak jatuh bareng-bareng aja? Biar kita bagi sakitnya bersama."

Orang tersebut adalah orang yang sama yang pernah menawarkan sebuah kebahagiaan semu padanya.

Sialnya, dulu Karina sempat mempercayai serangkaian kata tersebut. Bahkan ia teramat mempercayai kata itu hingga pada akhirnya Karina menyesal bahwa ia pernah mempercayai ucapan tersebut.

Karina lupa bahwa yang namanya jatuh pasti rasanya sakit. Meskipun jatuh bersama. Apalagi jatuh sendirian.

Sakit?

Tentu saja.

Terlebih Karina jatuh tanpa ancang-ancang terlebih dahulu dan sialnya ketika dia sudah berada di atas awan.

Karina menarik napas dalam-dalam. Membiarkan paru-parunya terisi oksigen agar sesak yang ia rasakan dapat berkurang.

Entahlah, setiap kali mengingat kenangan dulu ia selalu merasakan dadanya sesak. Sekalipun Karina telah berdamai dengan hatinya.

Terlebih ketika sekelebat ingatan yang menampilkan kilas balik kejadian dimana Ayah duduk di depannya dengan segelas teh manis lengkap dengan senyum yang mampu membuat Karina ingin menjerit saat itu juga.

"Ayah tau bahwa setiap keputusan yang kamu ambil pasti udah kamu pikirkan baik-baik. Apalagi kamu udah dewasa. Udah bisa menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Apalagi tentang hubungan. Ayah gak akan tanya alasan kamu putus sama Adrian. Ayah tau pasti itu menyakitian buat kamu, dan ayah gak mau kamu ingat itu lagi. Tapi kamu harus ingat, Ayah pasti mendukung kamu. Bahkan ketika dunia mencaci kamu. Karena bagi Ayah kamu adalah segalanya. Dan kamu juga harus tau, ketika kamu sendirian, kamu masih punya Ayah di belakang kamu yang akan menjaga kamu, mendengarkan keluh kesah kamu dan segala hal yang kamu rasakan."

Saat itu, lebih tepatnya pukul lima pagi, untuk ketiga kalinya Karina menangis. Menumpahkan segala emosi yang ia rasakan di depan Ayah yang memeluknya sambil menggumamkan kata pelipur lara. "Gak apa-apa. Terkadang manusia perlu nangis kok. Dan terkadang menyerah adalah pilih terbaik ketika jiwa dan raga sudah lelah."

Iya.

Terkadang manusia perlu menangis.

Terkadang manusia juga perlu menyerah.

Menyerah bukan berarti lemah, bukan pula kalah, melainkan merelakan. Merelakan ekspektasi yang sudah kita bangun sedemikian rupa untuk berakhir begitu saja. Merelakan bahwa takdir kita yang sesungguhnya tidak seindah apa yang kita bayangan dan merelakan diri kita untuk sakit hingga akhirnya kita mampu memperbaiki diri dan kembali bangkit untuk berjuang.

KARINA | SEULMINWhere stories live. Discover now