Bagian 16

2.1K 365 111
                                    

All humans make mistakes. What determines a person's character aren't the mistakes we make. It's how we take those mistakes and turn them into lessons rather than excuses.

Colleen Hoover, It Ends with Us

•••


Dalam hidup, kita bisa menemukan dua hal yang berbeda. Seperti halnya dua kata yang memiliki makna saling berlawanan. Kita biasanya mengenal kata itu dengan nama antonim.

Contohnya seperti kata baik dan buruk, gelap dan terang, pergi dan datang dan lainnya.

Namun dari sekian banyan kata beserta antonimnya, sepertinya Adrian paling menyukai kata pertama dan terakhir.

Alasannya sangat sederhana. Sesederhana karena pertama dan terakhir menunjukan awal dan akhir.

Seperti, pertama kita akan menyukai seseorang karena tampilan luarnya hingga seiring waktu berjalan, pada akhirnya kita akan menyukai seseorang itu 'because it theirself'. Bukan lagi karena tampilan luarnya, kebaikannya atau segala hal yang dia miliki. Melainkan karena itu adalah 'dia'.

Dia yang mampu membolak balikan dunianya sekejap mata. Dia yang mampu menorehkan beragam spektrum warna pada hidupnya yang tak berwarna. Dia yang mampu membuat tawanya terbit, layaknya fajar di upuk timur ketika pagi datang dan Dia yang mampu membuatnya tersadar akan 'The meaning of life'.

"There are so many reasons in life that make life worth living, Yan... One of them is we are going to die sooner or later." Satu kata yang Karina katakan dan sampai saat ini masih membekas di benak Adrian.

"Di dunia ini gak ada yang abadi Yan. Selama apapun perputaran waktu terjadi, pada akhirnya kita akan menemukan batasnya. Batas yang akan membuat kita berhenti. Karena pada akhirnya selalu ada batas waktu pada apapun yang terjadi di dunia ini. Seperti hidup di dunia dimana batasnya adalah kematian."

Di penghujung bulan Juni, di tengah gegap-gempita Jakarta yang tak pernah mati, Adrian meletakan sebelah tangannya untuk ia gunakan sebagai penopang wajahnya agar pandangannya tetap fokus ke depan tepat pada Karina yang sedang berbicara.

"Kebayang gak sih kalau nanti kita mati, semua hal yang kita dapatkan di dunia ini gak akan pernah bisa kita nikmati lagi. Semuanya akan hilang, seiring dengan tubuh kita yang ikut melebur bersama waktu. Lalu yang bisa kita bawa hanyalah amal dari kebaikan dan ibadah kita di dunia. Kamu kadang mikir kaya gitu gak sih Yan?"

"Nggak," jawab Adrian jujur. Lantas Karina tersenyum. Selanjutnya ia mengambil satu gelas kopi di depannya untuk dia minum sebelum ia kembali berbicara.

"You say, life is meaningless..." Karina menjeda ucapannya. Sedangkan Adrian, ia masih betah menopang dagunya sembari menatap Karina yang saat ini melihat tepat ke arahnya.

Entahlah, Adrian pikir Karina akan terlihat jauh lebuh menarik jika ia sedang berbicara dan mengemukakan pendapatnya yang terkadang out of the box.

"Kamu tahu kenapa hidup kamu meaningless?"

Lagi-lagi Adrian menggeleng. Sedangkan Karina saat itu malah tersenyum. Sangat manis, hingga kedua pipinya tertarik ke atas dan membuat matanya terlihat segaris.

"Because your life wasn't created with an intention..."

Hari itu, pada malam yang hangat––karena sejatinya Jakarta selalu terasa hangat––Adrian termenung. Mencerna ucapan Karina yang sialnya memang benar.

Your life wasn't created with an intention katanya.

Selama Adrian hidup, dia tidak memikirkan untuk apa dia hidup. Apa yang sudah dia lakukan untuk mengisi waktunya ketika hidup dan apa yang sudah dia dapatkan selama hidup ini.

KARINA | SEULMINWhere stories live. Discover now