Dua Puluh Empat (2)

58K 9.3K 1.4K
                                    

©motonoona

Sekitar pukul delapan, aku meninggalkan cafe. Artinya, itu satu jam yang lalu.

Merapatkan mantel, mencoba bertahan di tengah udara malam yang semakin menggigit. Tanganku bersembunyi dalam saku. Wajahku mati rasa karena terlalu lama terkena angin musim dingin. Di sebelahku, melintas sepasang kekasih yang sibuk saling menghangatkan. Sang pria meniup-niup telapak tangan gadisnya. Embusan napas yang keluar dari mulutnya menyerupai uap kopi panas, asap putih tipis dalam sorotan lampu jalan.

Langkahku pelan. Menyebrang saat lampu khusus pejalan kaki berubah hijau. Menghindari kubangan air yang terbentuk di setiap sisi jalan. Tersenyum maklum saat satu-dua penyebrang lain menubruk bahuku.

Ya. Situasi masih saja tidak mengenakkan. Setidaknya bagiku. Jaehyun menegaskan batas tak kasatmata itu. Dengan kalimat terakhir sebelum kami berpisah.

Memutus harapan yang susah payah aku rekatkan. Keberanian yang aku kumpulkan terbang bersama hembusan angin yang menyapa.

Begitu memasuki komplek perumahan elit, aku disambut oleh jalan setapak yang sunyi. Jalan itu diterangi cahaya dari lampu-lampu disetiap gerbang rumah, sehingga aku bisa melihat ke kejauhan.

Seseorang berdiri di sana, memunggungi aku. Dia pria berambut kecoklatan dan berkulit pucat yang mengenakan hoodie hitam dan celana selutut. Pria itu sedang menunduk sambil menendang kecil─entah udara atau kerikil. Lalu, seakan menyadari tatapanku, dia menoleh, memperlihatkan wajahnya yang tidak asing dan anehnya amat aku rindukan hari ini.

Nakamoto Yuta.

Suamiku.

Aku menghampiri Yuta dengan langkah-langkah gegas. Berhenti tepat di depannya. "Sedang apa di luar?"

Dia menatap datar, rahangnya mengeras. Melakukan gerakan men-scan dengan matanya sebelum menjawab. "Buang sampah."

Aku berdeham untuk menyamarkan suaraku yang bergetar karena menahan tawa. Itu bohong. Yuta tidak pernah mau menyentuh sesuatu selain berkas kantor─dan mungkin istrinya. Lagi pula, tempat membuang sampah ada di belakang rumah, bukan di halaman depan.

"Tumben?" Tanyaku.

"Emang nyentuh kantung sampah bikin gue jatuh miskin?

"Kok galak?

"Berisik."

Aku tidak bisa lagi menahan senyum di bibirku, betapa pun kerasnya aku mencoba. Apa boleh buat. Suamiku, Nakamoto Yuta yang tidak aku lihat batang hidungnya sejak pagi, berada di hadapanku saat ini, berdiri di tengah udara dingin, dengan sifat pemarahnya dan juga alasan konyol yang dia buat.

Sudut hatiku merasakan sesuatu, apa mungkin dia sedang menungguku pulang?

"Lo darimana?"

Bertemu patah hati terbaikku.

"Jalan-jalan," jawabku. "Untuk menyegarkan pikiran dan bertemu teman lama."

Yuta mendengus. "Jalan kaki?"

Aku mengangguk. "Aku pikir jalan-jalan ya memang harus sambil berjalan kaki, kan?"

Aku membatalkan taxi yang dipesan oleh Jaehyun, tepat saat sang supir baru memarkirkan mobilnya di depan bangunan yang sedang aku singgahi. Meminta maaf dan memberinya sedikit uang untuk ucapan terimakasih karena sudah mau jauh-jauh menjemput. Ujung-ujungnya justru aku batalkan.

Rongga dadaku yang sumpek terlalu lama dihimpit oleh kenyataan pahit butuh udara segar. Berjalan kaki bukan pilihan buruk.

Yuta bergeming, hanya menatapku dari atas sampai bawah, lalu kembali lagi. Tidak tahu apa yang dia cari, matanya sibuk menjelajahi. Untuk kemudian, dia melepas hoodie yang dipakai, menepuk-nepuk bagian luarnya sebelum dia lemparkan ke arahku.

Istri Paruh Waktu | Nakamoto YutaWhere stories live. Discover now